Mohon tunggu...
Sang Pembelajar
Sang Pembelajar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

penulis dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Salah Kaprah Memperjuangkan Syariat Islam

19 Januari 2014   12:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak seorang pun di antara kaum Muslimin yang menolak tegaknya satu daulah yang berazaskan Islam dalam segenap lini kehidupan bernegara melainkan mereka yang jahil tentang agamanya atau yang dalam hatinya menyimpan sifat munafik. Akan tetapi kita dapati pada hari ini, sebagian kalangan yang menamakan dirinya sebagai ‘aktivis dakwah’ atau ‘pejuang syariat Islam’ ternyata memiliki kesalahan teramat fatal dalam memandang kedudukan daulah dalam Islam atau dalam metode memperjuangkan tegaknya daulah islamiyah tersebut.

Kebanyakan dari mereka beri’tiqad bahwa tegaknya kekuasaan merupakan tujuan dari dakwah Islam, sehingga demi tercapainya tujuan itu mereka menggunakan segala macam cara. Meskipun banyak dari mereka yang menyangkal, fakta di lapangan membuktikan bahwa apa yang didakwahkan oleh para ‘aktivis dakwah’ tersebut tidak jauh-jauh dari dakwah politik atau yang lebih sering dikenal sebagai fiqhul waqi’. Majelis-majelis taklim, tabligh akbar, buletin, majalah, hingga artikel-artikel yang berceceran di situs maupun blog mereka selalu dipenuhi dengan propaganda-propaganda tentang “kemunduruan dunia Islam berikut solusinya”. Solusi yang dimaksud versi mereka, tak lain tak bukan adalah hendaknya umat Islam bangkit merebut kekuasaan dari tangan para penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Islam.

Sekiranya kita mau merenungkan kembali perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW, niscaya bakal kita dapati bahwa tujuan dari dakwah beliau adalah menyeru manusia untuk mentauhidkan Allah, hingga meninggalkan segala bentuk peribadatan kepada selain-Nya. Selama 13 tahun berdakwah di Makkah, tidaklah kita dapati dalam catatan sejarah bahwa beliau berusaha merebut kekuasaan dari para petinggi Quraisy. Bahkan ketika kaum kafir Quraisy mendelegasikan Utbah bin Rabi’ah kepada Rasulullah SAW untuk membujuk beliau agar menghentikan dakwah tauhidnya, dengan menawarkan kekuasaan dan kedudukan kepada beliau, maka dengan tegas Nabi SAW menolaknya. Dari ibrah tersebut dapat disimpulkan, kekuasaan bukanlah tujuan dakwah Nabi SAW. Jika memang kekuasaan adalah tujuan dari dakwah, tentu saja beliau bakal menerima tawaran kaum kafir Quraisy untuk menjadi penguasa di antara mereka.

Hal ini sekaligus mematahkan teori yang diusung para aktivis ‘pejuang syariat’ dan ‘pejuang khilafah’ yang menyatakan, “rebutlah kekuasaan dulu, setelah itu baru tegakkan tauhid!” Sejumlah catatan dalam tinta sejarah telah membuktikan kesalahan teori mereka. Lihatlah! Bagaimana seorang Raja Najasyi, penguasa Habasyah harus menyembunyikan keislamannya lantaran merasa terancam jiwanya jika menampakkan keislamannya di hadapan rakyat serta bawahannya. Contoh lain, bagaimana seorang Heraklius, kaisar Romawi Timur setelah menerima surat dari Nabi SAW ia mengumpulkan bawahan dan balatentaranya. Kepada segenap punggawa kerajaan, Heraklius menyerukan agar mereka menerima risalah Nabi Muhammad SAW yang kedatangannya telah diberitakan dalam Injil. Namun seketika itu pula segenap bawahan dan balatentaranya segera beranjak meninggalkan sang raja. Maka Heraklius bangkit dan menyeru kepada mereka, “Sesungguhnya aku hanya hendak menguji kesetiaan kalian terhadap agama kalian!” Akhirnya Heraklius pun lebih memilih kekufuran daripada keimanan.

Begitu pula yang terjadi pada hari ini. Kita saksikan, kemenangan Ikhwanul Muslimin dalam pemilu di Mesir pasca tumbangnya Husni Mubarak yang sempat menyebabkan segenap kaum harakiyyin berbesar hati ternyata fatamorgana belaka. Faktanya IM hanya sanggup menduduki singgasana kekuasaan sekejap mata, sebelum akhirnya tumbang oleh makar kaum militer-sekuleris. Sekali lagi, itu membuktikan batilnya asas “kekuasaan dulu baru tauhid.”

Sebaliknya, sejarah mencatat kemenangan gemilang atas pertolongan Allah diraih oleh mereka yang memprioritaskan tauhid dalam dakwah, sebagaimana dicontohkan Nabi SAW. Generasi sahabat Nabi, tabi’in, dan tabiut tabi’in menjadi saksi atas tegaknya daulah islamiyah dengan wilayah kekuasaan membentang luas dari Jazirah Arab hingga Andalusia berkat kuatnya pondasi dakwah tauhid yang diletakkan oleh Nabi SAW. Dan tegaknya kekuasaan yang bersendikan dakwah tauhid juga diraih oleh generasi setelah mereka yang mengikuti manhaj Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. Pada abad ke-18 M ketika negeri-negeri muslim berjatuhan ke tangan kaum kolonialis, di jazirah Arab berdiri sebuah daulah yang bersendikan hukum Allah berkat dakwah tauhid yang dimotori oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab. Dengan didukung Ibnu Saud, amir Dir’iyah, beliau menghancurleburkan praktek-praktek kemusyrikan yang kala itu kembali membudaya di kalangan masyarakat Arab. Meskipun menghadapi perlawanan sengit dari musuh-musuh dakwah tauhid, Allah berkehendak memberikan kekuasaan kepada anak-cucu Ibnu Saud yang telah menolong dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab hingga tegaklah daulah Su’udiyah I, daulah Su’udiyah II, dan kerajaan Arab Saudi yang berlandaskan Islam atas dasar pemahaman salafus salih hingga saat ini.

Maka patut direnungkan. Tidaklah daulah islamiyah tegak dari tangan-tangan ‘para aktivis dakwah’ yang menyibukkan diri dengan dakwah parlemen dan politik. Bagaimana mungkin daulah islamiyah akan tegak lewat jalan demokrasi yang merupakan produk filsafat Plato? Tidaklah pula daulah islamiyah akan tegak dari tangan mereka yang setiap saat menyeru “khilafah...khilafah!” sementara di saat yang sama bersikap masa bodoh terhadap terjerumusnya umat Islam ke dalam berbagai tindak kemusyirikan dan kebid’ahan. Sungguh naif, mereka yang mengaku sebagai ‘pejuang khilafah’ yang katanya mengharamkan demokrasi tapi justru menghalalkan demonstrasi sebagai media propaganda, padahal demonstrasi sejatinya adalah anak kandung demokrasi. Tidaklah pula daulah islamiyah akan tegak dari tangan mereka yang menyeru “jihad...jihad!” namun sejatinya yang mereka praktekkan adalah penumpahan darah sesama Muslim, pengkafiran pemerintah Muslim, dan penebaran teror di tengah-tengah masyarakat yang semua itu merupakan jalan kaum khawarij yang telah divonis oleh Nabi sebagai “anjing-anjing neraka”. Sungguh, hanya daulah khayalan yang akan lahir dari mereka yang mengaku sebagai ‘pejuang Islam’ tapi menyelisihi manhaj para sahabat dalam beragama.

Tiadalah baik umat ini, melainkan dengan apa-apa yang telah membuat baik pendahulu mereka. Bukankah Rasulullah SAW memulai dakwahnya dengan menegakkan tauhid dan memberantas segala bentuk kemusyirikan? Maka lihatlah fenomena yang melanda umat Islam di negeri kita tercinta pada hari ini. Tampak jelas, betapa mereka telah mengikuti jalan-jalan kaum musyirikan zaman Nabi SAW. Jika bangsa Arab jahiliyah menyembah berhala Latta, Uzza, Manat, dan Hubal, pada hari ini tak sedikit di antara kaum Muslimin yang menyembah kuburan para wali, keris pusaka, hingga nyi roro kidul.

Sekiranya benar klaim para ‘aktivitas dakwah politik’, bahwa mereka hendak memperjuangkan syariat Islam, semestinyalah mereka bersemangat dalam memberantas beraneka kemusyirikan tersebut. Bukannya malah bertoleran dengan praktek-praktek kemusyirikan demi menggaet kursi. Bila demikian yang terjadi, layaklah ditanyakan. Bagaimana mungkin kalian hendak memperjuangkan formalisasi syariah, tetapi di saat yang sama mengabaikan dakwah tauhid, padahal itu merupakan syariat Islam yang paling agung? Maka tak mengherankan, manakala para ‘aktivis dakwah’ itu terpilih menjadi anggota dewan atau kepala daerah, mereka tidak berdaya memberangus praktek-praktek kemusyirikan yang membudaya di tengah masyarakat. Yang ada, mereka justru terbawa arus untuk kian bersikap inklusif, pluralis, dan toleran dalam menyikapi fenomena kerusakan akidah yang mendera umat Islam.

Terakhir, hendaknya menjadi renungan bagi kita semua, terutama segenap ‘aktivis dakwah’. Sekiranya pada hari ini kita begitu semangat dalam menyerukan pemberantasan korupsi dan pemberantasan narkoba, seharusnyalah kita lebih bersemangat lagi dalam memberantas kemusyirikan. Karena kemusyirikan adalah puncak kemaksiatan, nenek moyangnya dosa yang menyebabkan pelakunya kekal dalam siksa neraka. Kemusyrikan adalah penyakit kronis yang telah menggerogoti kaum Muslimin di tanah air yang menyebabkan negeri ini jauh dari keberkahan. Entah itu kemusyirikan yang dibalut dengan baju tradisi semisal penyembahan kuburan wali, pengagungan keris pusaka, atau penyembahan nyi roro kidul maupun kemusyrikan model baru yang dibungkus istilah-istilah keren semacam pluralisme agama dan multikulturalisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun