Ki Ageng Suryomentaram (20 Mei 1892 -- 18 Maret 1962) adalah putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI. Ki Ageng Suryomentaram memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas (BRM) Kudiarmadji dan setelah umur 18 tahun diberi nama kebangsawanan Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram menjadi guru dari suatu aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja yang memiliki arti ilmu bahagia. Salah satu ajaran moral dari Ilmu Begja yang sangat populer pada masa itu adalah Aja Dumeh yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain karena diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama.Â
Ki Ageng Suryomentaram adalah sosok yang menarik dalam sejarah Jawa. Beliau bukan hanya seorang pangeran dari Kraton Yogyakarta, melainkan juga seorang filsuf dan guru spiritual yang sangat dihormati.
Pada awal mulanya Ki Ageng Suryomentaram memiliki gelar Pangeran Surya Mataram namun kemudian beliau menanggalkan gelar kepangeranannya tersebut dan menyebut dirinya sebagai Ki Ageng Suryomentaram. Hal ini bermula saat BPH Suryomentaram pernah turut ikut dalam satu rombongan jagong manten ke Surakarta dan saat dalam perjalanan dengan kereta api yang dinaikinya beliau melihat seorang petani yang sedang bekerja di sawah. Apa yang dilihat oleh BPH Suryomentaram ini membuat hatinya tersentuh, dengan gambaran betapa beratnya beban hidup para petani pada kala itu, Lalu ia sering keluar istana untuk melakukan semedi pada tempat-tempat yang biasa dikunjungi para leluhurnya terdahulu seperti Parangtritis, Gua semin dan  Gua langse.
Sepanjang masa hidupnya, Ki Ageng Suryomentaram mencurahkan seluruh daya serta perhatiannya untuk menyelidiki dan mempelajari alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sendiri sebagai kelinci percobaan, Banyak hasil penyelidikannya tentang diri sendiri yang berupa buku-buku, karangan-karangan atau ceramah-ceramah. Pengajaran Ki Ageng Suryomentaram umumnya berupa ceramah-ceramah yang ditujukan untuk kalangan terbatas dan diberikan dengan cara yang khas yakni dengan duduk di lantai (lesehan). Kebanyakan tulisan yang membahas persoalan kejiwaan dan kerohanian ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain: Pangawikan Pribadi, Kawruh Pamomong, Piageming Gesang, Ilmu Jiwa, Aku Iki Wong Apa?. Cara hidup Ki Ageng Suryomentaram cukup menampakkan kesederhanaan dengan mengenakan celana pendek, sarung yang diselempangkan pada pundaknya, memakai kaos, Rambutnya dicukur sampai pendek dan kepalanya dibiarkan tidak tertutup serta kakinya pun dibiarkan tanpa alas.
Konsep Enam "SA" versi Ki Ageng Suryomentaram merupakan landasan filosofis yang mendalam tentang bagaimana manusia sebaiknya menjalani hidup dengan bijaksana, sederhana, dan harmonis. Dalam ajarannya, Ki Ageng Suryomentaram mengedepankan nilai-nilai keseimbangan, introspeksi, dan kesadaran diri untuk meraih kebahagiaan sejati. Berikut adalah penjelasan rinci dari setiap "SA":
1. Sa-Butuhne (Sebutuhnya)
Sa-butuhne mengajarkan kita untuk memahami apa yang benar-benar dibutuhkan dalam kehidupan, agar tidak terjebak dalam keinginan yang berlebih. Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa kebutuhan manusia yang sebenarnya sangatlah sederhana dan terbatas, berbeda dengan keinginan yang tidak memiliki batas.
Prinsip ini membantu kita untuk tetap fokus pada hal-hal yang esensial dan tidak tergoda oleh gaya hidup konsumtif yang sering kali menjadi sumber stres dan ketidakpuasan. Ketika kita memahami batas kebutuhan, kita mampu hidup lebih tenang karena tidak terlalu membebani diri dengan hal-hal yang sebenarnya tidak diperlukan.
Dalam praktiknya, Sa-butuhne relevan di berbagai aspek kehidupan. Misalnya, dalam konsumsi makanan, kita makan secukupnya untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh, bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu makan.
Dalam hal pengeluaran keuangan, prinsip ini mendorong kita untuk hanya membeli barang atau jasa yang benar-benar dibutuhkan, sehingga terhindar dari pemborosan. Manfaatnya adalah menciptakan kehidupan yang lebih sederhana, efisien, dan bebas dari tekanan akibat tuntutan gaya hidup yang berlebihan. Dengan hidup sebutuhnya, kita juga dapat menjaga keseimbangan dan menghormati sumber daya alam.