Mohon tunggu...
Muhamad Iqbal Al Hilal
Muhamad Iqbal Al Hilal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Freelance Writer

Penulis berkonsentrasi pada isu sejarah, politik, sosial ,ekonomi, hiburan dan lain sebagainya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PPN: Perlukah Diterapkan pada Sembako dan Jasa Pendidikan pada Masa Pandemi?

12 Juni 2021   10:33 Diperbarui: 12 Juni 2021   17:03 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu mengenai pemberlakuan pajak pada sembilan bahan poko( sembako) dan jasa pendidikan menyeruak tajam setelah pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Komisi XI DPR RI menggelar rapat mengenai revisi Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) pada hari Kamis 10 Juni 2021.

Isu inipun menyebar dengan sangat cepat dan menimbulkan banyak polemik ditengah masyarakat khususnya para pedagang, pembeli dan para pendidik yang keberatan dengan rencana memasukan sembako dan jasa pendidikan ke dalam Pajak Pertambahan Nilai ( PPN). Bisa dikatakan pengenaan PPN pada kedua sektor tadi sangatlah sensitif bagi sebagian pihak dimana saat ini kita tengah menghadapi pandemi covid-19 yang belum reda sejak masuk di Indonesia Maret 2020 lalu.

Padahal disetiap kesempatan Presiden Jokowi sering menekankan mengenai pemulihan ekonomi dimana pada saat ini semua sektor mengalami penurunan omzet dan keuntungan. Alasan masyarakat menolak pengenaan PPN pada sembako adalah karena keuntungan mereka kini sudah menurun akibat pandemi jika PPN diterapkan mereka khawatir daya beli para pembelinya akan berkurang dan berpengaruh pada keuntungan bagi mereka dalam hal ini para penjual.

Sementara itu isu memasukan jasa pendidikan atau sekolah kedalam PPN juga tidak luput dari sorotan para orangtua khususnya sebab saat masa pandmei seperti sekarang ini biaya untuk sekolah masih menjadi beban tersendiri bagi masyarakat apalagi saat ini sektor pendidikan digelar secara daring namun tetap diwajibkan membayarnya setiap semester. Walaupun dalam salah satu diskusi di salah satu media mainstream dijelaskan bahwa penerapan pajak pertambahan nilai bagi sembako dan jasa pendidikan hanya diterapkan bagi yang premium semata atau istilah mudahnya bagi yang berduit semata

Namun isu ini terlanjur menyebar yang menyebabkan para " emak-emak dan bapak " tidak setuju sebab kegiatan pendidikan sendiri sekarang dilakukan dirumah secara daring yang memerlukan biaya besar untuk pembelian kuota internet dan sejenisnya sebab seringkali ditemukan pemberian kuota internet oleh Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Direktorat Pendidikan Tinggi cenderung lambat dan salah sasaran.

Namun tenang saja revisi Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) masih berstatus draft nya saja dan masih belum final pembahasannya namun pernyataan Menkeu Sri Mulyani mengenai bocornya draft ini bisa dikatakan kurang tepat sebab sejatinya alangkah lebih baiknya draf hingga undang- undang dijelaskan ke publik dengan gamblang dan jelas agar masyarakat tidak lagi merasa tidak dianggap dalam rencana penerapan PPN saat ini. Sebaiknya pemerintah menerapkannya pada orang berduit saja bukan merata pada semua golongan lapisan masyarakat namun, para " crazy rich " pun seharusnya dikenai pajak sesuai draft yang sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR di gedung kura- kura Senayan Jakarta. 

Ilustrasi kegiatan belajar mengajar sebelum pandemi / Muhamad Iqbal Al Hilal
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar sebelum pandemi / Muhamad Iqbal Al Hilal
Memang benar pemerintah sedang menggenjot pendapat negara dengan memasukan berbagai sektor kedalam pajak pertambahan nilai setelah sebelumnya Materai dan Pulsa dikenai pajak dan adanya keringanan pembayaran pajak melalui tax amnesti, pemutihan pajak dan pengurangan pajak bagi pembelian kendaraan mobil namun, perlu diingat semua kegaduhan ini harusnya tidak terjadi di tengah masyarakat jika pemerintah mau melibatkan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik.

Dan alangkah baiknya pemerintah juga seharusnya membuat kebijakan publik dengan persiapan yang matang dan resiko untung dan ruginya terlebih dahulu sebelum menerbitkannya di masa pandemi seperti sekarang ini seharusnya pemerintah, masyarakat dan para pemangku kepentingan bergotong- royong demi pemulihan ekonomi nasional untuk ekonomi yang lebih baik lagi pasca pandemi usai nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun