Moderasi dan Perdamaian : Bagaimana Peran Pesantren dalam Mencegah Radikalisme dan Terorisme
Moderasi dan perdamaian bagaikan dua pilar utama yang menopang kehidupan harmonis di tengah keragaman budaya, agama, dan etnis. Moderasi, sebagai jalan tengah yang seimbang, menjadi kompas untuk menavigasi perbedaan dan meminimalisir konflik. Perdamaian, sebagai hasil dari penerapan moderasi, menghadirkan rasa aman dan tenteram bagi seluruh elemen masyarakat.
Di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi, terbentang sebuah realitas indah: kehidupan masyarakat yang tentram dan damai dalam balutan keragaman agama dan ras. Keberagaman ini bukan menjadi sumber perpecahan, melainkan mozaik harmonis yang memperkaya budaya dan memperkuat persatuan. Masyarakat hidup berdampingan dengan saling menghormati keyakinan dan adat istiadat masing-masing. Toleransi dan saling pengertian menjadi landasan utama dalam menjalin hubungan antar individu dan kelompok. Kehidupan masyarakat yang damai seringkali dihantui oleh adanya suatu faham dan sikap radikalisme dan terorisme yang terjadi ditengah keberagaman masyarakat. Radikalisme dan terorisme bagaikan racun yang menggerogoti perdamaian masyarakat. Dampak destruktifnya menjangkau berbagai aspek kehidupan, merenggut rasa aman, dan menghambat kemajuan.
Radikalisme ialah sebuah paham yang memiliki keinginan hadirnya pergantian, perubahan, atau pemberontakan kepada sesuatu sistem yang berlaku di masyarakat hingga dasarnya. Â Radikalisme menghendaki adanya suatu perubahan secara totalitas dalam suatu keadaan atau aspek masyarakat yang dinilai tidak sesuai dengan dirinya. Penganut radikal mengklaim bahwa suatu yang mereka pikir dan rencanakan ialah sebuah hal yang paling benar. Radikalisme ini biasanya berkembang dalam suasana dramatis yang menampilkan adanya kemiskinan, ataupun ketidak adilan yang terjadi didaerah tersebut. (Zuly Qodir, 2014)
Pengertian radikalisme jika dilihat secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa latin yaitu "radix" yang dapat diartikan sebagai "akar". Dapat istilahkan bahwa radikalisme ialah paham yang menginginkan perubahan hingga ke akar, dilakukan dengan sebuah perlawanan, penolakan terhadap suatu nilai atau kelembagaan tertentu. (Dede rodin, 2016)
Sejarawan atau intelektual Sartono Kartodirdjo mendefinisikan radikalisme sebagai gerakan sosial yang melakukan penolakan secara menyeluruh tatanan sosial yang sedang diterapkan dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk melakukan  penentangan dan berlawanan dengan kaum yang memiliki otoritas atau kekuasaan. (Sartono Kartodirdjo, 1985)
Sedangkan, terorisme seperti disebutkan oleh Kofi Annan (Mantan Sekjen PBB) adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang memiliki motif politik, ideologi, atau agama, dengan tujuan untuk mencapai tujuan politik mereka dengan cara yang tidak sah dan tidak bermoral. Kofi Annan memandang terorisme sebagai suatu ancaman yang dimana negara harus melindungi warga negaranya dari sebuah ancaman tersebut. Namun disisi lain negara juga harus berhati-hati dalam melawan tindakan terorisme agar tidak menjadi tindakan pelanggaran HAM. (Kofi Anna, 2001)
Berbagai fenomena terorisme yang terjadi di dunia terutama di Indonesia menjadi persoalan yang serius untuk dibahas dan dilakukan penindakan, karena dapat mengancam stabilitas keamanan dan merenggut nyawa orang yang tidak bersalah. Melihat fenomena terorisme yang semakin marak, maka perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan yang komprehensif dan berkelanjutan, sehingga tercipta rasa aman dan damai di masyarakat. Untuk mengatasi terorisme, perlu dilakukan kerjasama antara pemerintah, aparat keamanan, masyarakat sipil, maupun tokoh agama dan adat, dengan mengedepankan pendekatan yang humanis dan berorientasi pada akar permasalahannya.
Tindakan terorisme dengan mengatasnamakan agama merupakan salah satu tindakan yang melanggar kebebasan beragama. Tindakan terorisme tersebut biasanya dilakukan diberbagai ruang publik. Sosiolog Habermas mengungkapkan bahwa, ruang publik merupakan wilayah yang ditujukan secara bebas untuk siapapun. Namun, apabila tindakan terorisme ini didasarkan pada hal tersebut merupakan suatu hal yang salah besar, apalagi jika muncul narasi-narasi pembenaran atas tindakan pelanggaran hak asasi manusia berlatar suku, ras, dan agama, ini akan menimbulkan persoalan yang besar, maka dari itu perlu adanya edukasi untuk masyarakat agar tidak terjerumus kedalam persoalan-persoalan tersebut.
Tindakan terorisme yang mengatasnamakan agama sama sekali tidak mencerminkan ajaran agama yang sebenarnya. Agama-agama di dunia mengajarkan perdamaian, kasih sayang, dan toleransi, bukan kekerasan dan kebencian. Tindakan terorisme hanya akan mencoreng citra agama dan menimbulkan stigma negatif terhadap penganutnya.
Terorisme yang terjadi di berbagai wilayah seringkali dikaitkan dengan Islam, mengkaitkan Islam dengan terorisme adalah sebuah kesalahpahaman yang berbahaya dan menyesatkan. Hal ini dapat memicu stereotip negatif dan diskriminasi terhadap umat Islam. Faktanya, mayoritas umat Islam di seluruh dunia menentang dan mengutuk tindakan terorisme. Mereka hidup berdampingan dengan damai dengan pemeluk agama lain dan berkontribusi positif bagi masyarakat. Banyak organisasi Islam dan tokoh agama yang secara terbuka menyatakan penolakan mereka terhadap terorisme dan menyerukan perdamaian. Pelaku terorisme seringkali memiliki motif politik, ideologi, atau kepentingan pribadi yang ingin mereka capai dengan cara kekerasan. Mereka tidak mewakili Islam secara keseluruhan. Tindakan mereka didorong oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan kurangnya pemahaman agama yang benar.