Jaman sekarang, demokrasi itu ibarat video porno. Laris manis, murah meriah, disukai semua kalangan, dari politisi sampai anak SMP. Apalagi kalau video pornonya diselenggarakan oleh pihak-pihak terkenal, yang memperoleh pencitraan yang cukup melimpah-ruah. Kalau sudah begitu, anak-anak SMP pun mulai berani menuntut kepada alam semesta perihal pendemokrasian dalam berporno dan bervideo.
Sebagai penggemar video, saya tetap tidak suka demokrasi. Ngomong soal demokrasi saat ini jelas salah kaprah—boso Jowone, kemproh—serta terdengar lucu dan konyol, apalagi kalau ngomongnya tanpa didahului sikat gigi. Demokrasi di negeri kita, yang ditandai dengan pemilihan ini itu secara langsung memang banyak memanen pujian dari negara-negara Barat, terutama Amirika. Tapi ya disitu kelirunya. Ketika kita sudah dipuji-puji mereka, berarti ada yang salah dengan kita. Kalau kita sekalian dibom gitu saja malah ketahuan siapa yang benar.
Tetapi saya yakin para politisi, para bisnismen, dan para orang professor, dosen, mahasiswa dan rombongannya rajin menyikat gigi, jadi kalau ngomong demokrasi baunya jadi harum, seharum mempelai wanita. Demokrasi saat ini adalah industri pencitraan. Industri public relations, alias industri jual beli omongan-omongan kosong, semacam “Lanjutkan,” “Lebih cepat lebih baik,” dan “Pria punya selera.” Ngomong demokrasi tanpa ngomong media dan propaganda seperti orang tuli ngomong tentang Dewa 19.
Demokrasi bertumpu pada kesepakatan mayoritas masyarakat dalam pengambilan keputusan. Jadi misalnya 51% orang Indonesia milih SBY, maka itu demokrasi. Tapi kan demokrasi belum tentu demokratis. Demokratis itu kalau kita secara sadar memilih pilihan kita, memilih jalan hidup kita, memilih kekasih kita, memilih mau masuk UGM atau UMG, dengan mempertimbangkan berbagai konsekuensi yang akan kita hadapi. Persoalan memilih ini bukan sepele lho. Bahasa kerennya butuh “alat intelektual,” alias kecerdasan. Tapi orang Indonesia pada sadar po?
Si Edward Bernays, bapak public relations, pernah bilang—yang menurut saya agak vulgar—bahwa manipulasi atas opini dan perilaku masyarakat merupakan elemen PENTING dalam demokrasi. Mereka yang kerjaannya memanipulasi inilah yang sebenarnya menjalankan kekuasaan. Jadi bukan rakyat yang berkuasa. Kalau dalam bahasanya Walter Lippmann, ini disebut “manufacturing consent,” alias memproduksi kesepakatan. Dan proses memproduksi kesepakatan inilah esensi dari demokrasi. Gimana caranya biar masyarakat pada sepakat, pada seragam opini dan perilakunya, sehingga mudah digiring masuk jurang? Caranya ya lewat media. Media adalah alat yang sangat amat efektif untuk menjauhkan masyarakat dari perdebatan publik yang menyangkut hajat hidup mereka sendiri. Singkatnya, demokrasi jangan sampai dijalankan oleh rakyat. Rakyat tugasnya cuma nonton. Jangan ikutkan mereka, kecuali lima tahun sekali.
Nah, untuk menjalankan siasatnya, si gerombolan manipulator ini (politisi, akademisi dan bisnismen) membutuhkan sesuatu untuk menaunginya, namanya Negara. Negara ini harus seolah-olah demokratis. Negara, kata si James Madison, berfungsi untuk melindungi kaum minoritas yang anggun itu dari kebar-baran kaum mayoritas, atau rakyat. Rakyat itu gak punya kuasa sama sekali, yang berkuasa adalah “stock jobbers,” alias para investor, kata Madison. Negara demokrasi saat ini dikuasai oleh para gangster investor yang menggunakan kekuasaannya untuk keuntungan mereka sendiri, kata Mbah Chomsky, yang mendapat pembenaran yuridis dan akademis dari kawan politisi dan akademisi mereka.
Begitu juga dengan ideologi pasar bebas yang harus dianut negara demokrasi. Seperti yang dikatakan Adam Smith, pasar bebas itu bisa sangat demokratis, karena prinsipnya adalah konsumen bebas memilih secara sadar barang-barang produksi yang dibutuhkannya. Tapi kan sekarang si Adam Smith itu kan ditelanjangi habis-habisan kemudian divideo dan dijual ke seluruh dunia oleh Barat. Sekarang konsumen jelas tidak ada yang sadar. Bahkan mereka dungunya keterlaluan. Mereka tertipu oleh iklan-iklan yang tidak merujuk ke substansi barang produksi yang ingin dijual. Kita disuruh nonton Piala Dunia saja senengnya bukan main, heboh, padahal kita tidak ikut main. Sambil nonton, kita disuruh bersorak-sorai, beli ini itu, ngefan ini itu, dan disuruh merokok. Tidak ada iklan yang benar-benar merepresentasikan secara adil tentang suatu produk. Kan gak ada iklan Coca-cola yang bilang kalau minuman ini dibuat oleh buruh Bangladesh yang diupah sangat rendah. Atau iklan rokok yang bilang kalau rokok lebih banyak membunuh daripada mariyuana. Semuanya adalah industri pencitraan. SBY juga dijual atau diciterakan seperti kehendak mereka yang mengusungnya.
Lalu bagaimana agar kita sadar? Kalau saya sih sudah sadhar dari dulu, karena lulusan Sanata Dharma. Lha yang lulusan UGM?
Menurut Chris Hedges, dunia kita terbelah menjadi dua. Dunia ilusi dan dunia realitas. Mereka yang terjebak dalam dunia ilusi adalah mereka yang terekspos oleh citra-citra atau gambar-gambar, dan secara bersamaan mengira kalau gambar-gambar tersebut adalah INFORMASI. Mereka mengira kalau filem Hollywood adalah informasi. Ciloko to? Mereka masuk dalam budaya gambar. Budaya gambar yang diwartakan oleh media ini semakin menjauhkan mereka dari dunia realitas, yang kata Hedges adalah dunia berbasis tulisan. Kenapa tulisan? Karena dunia tekstual setidaknya lebih mengasah kritisisme dan analisis independen. Mereka yang masih di dalam budaya tekstual lebih memiliki kemampuan intelektual dan analitis yang cukup untuk memilah-milah mana informasi yang ilusif dan mana yang fakta.
Yang bisa kita lakukan sebagai orang kecil ya cuma mulai belajar sadar (tapi gak perlu masuk Sanata Dharma), belajar membaca dan memilah informasi, dan akhirnya belajar mendidik orang lain. Ini juga gak sepele lho. Kata Chomsky, perubahan itu dimulai dari “popular education,” pendidikan masyarakat. Minimal kita bisa tahu kalau merokok itu merusak kesehatan.
Yah… itulah demokrasi. Dan itulah mengapa Israel juga menganggap diri mereka demokrasi.
Hidayat, 4 Juli 2010
Sumber:
Edward Bernays, “Propaganda,” 1928.
Noam Chomsky, “Understanding Power.” 2002.
Chris Hedges, “Empire of Illusion: the End of Literacy, the Triumph of Spectacle,” 2009.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H