“ GUGURNYA DUA SAYAP AISHA”
Kaki si bocah kecil itu terjuntai-juntai di aliran air bandar di samping rumah mengaliri kolam kecil dan beberapa petak sawah, hujan malam baru saja reda, digonggong cahaya mentari mencoba menguak-nguak bilah awan separo hitam yang masih mencoba menurunkan muntah air untuk bumi malam sesudah isya ini.
Tertunduk kepala berkerudung coklat memandangi deraian aliran air ditembak cahaya sang bulan di atas atap gubuk ini. Tiga perempat goreng pisang tertidur nyenyak di genggaman jari-jari gemulainya, nampaknya tidak ada harapan lagi si goreng akan dikunyah si bocah itu, sedikit-sedikit temaran malam memantul-mantul di daun pisang terpoles basah. lampu teplok sengaja digantung di tonggak teras rumah depan agar si bocah bisa meleluasakan sedih malam ini.
Di bawah kemilau lampu teplok menebar redup ke celah-celah rumah, seorang pria sekira-kira berumur 31 tahun menepis-nepis tikar pandan melunturkan pasir-pasir yang tersangkut. Dua insan malam ini sepi, bisu dalam gerak, si bocah kecil dan si pria itu. selesai isya malam ini, penduduk sekitar baru menyelesaikan acara takziah ke rumah atau lebih tepat gubuk itu.
Berjalan gontai sepenuh jiwa mendekap si bocah dari belakang yang sedang menjulurkan kaki mungil ke tumpukan air bandar yang mengalir memagut tubuh si bocah separo dingin malam menyemai dikulitnya.
"…Aisha? ayo nak! Tidur…" kata pemecah keheningan si bocah bergulir bagikan buluh perindu. Aisha menggeliat menggelengkan kepala tanpa melihat siapa yang mendekap dari belakang. Enggan, sedih, nampak bahasa tubuh si Aisha menunjukkan hal itu. Si pria itu mendekatkan pipinya ke pipi si Aisha perlahan, sekali lagi "...ayo nak?..." bisikan bercampur hiba mencuat dari dalam jiwa. Terisaklah Aisha kali ini, sedari dari tadi menahan bendungan air mata, terurai hangat di pipinya gurat-gurat tangis yang bersambung. Suara parau sebagai jawaban dari ajakan kedua kali si pria itu, "…Aisha sayang Ummi…" tersedu sedan, nampak jelas dari tarikan dadanya yang kembang kempis tak beraturan. Si pria tak memberikan tanggapan, hanya menunduk memandangi air bandar yang mencoba mencuri sedih si bocah Aisha.
"…Ummi bohong! katanya Ummi sayang Aisha juga, kenapa Ummi pergi Bi?..." tuduhan polos Aisha menyeringai dibalik kuping si pria itu. Pukulan kedua tidak dapat dibalas, mungkin menahan sesak di dada bagian kiri. Sambil menengadah dengan mulut Aisha merengek "…Ummiii… Aisha sayang Ummi…" dia menggelinjang di pelukan Abi-nya, terjatuhlah goreng pisang dalam genggaman tadi, mungkin sudah dingin seperti arus angin malam itu.
Si pria itu tak ingin berlama-lama menerima tuduhan yang mungkin jauh lebih perih baginya, tapi apakah ada kata-kata yang lebih ringan yang bisa aku sampaikan kepadanya sehingga si Aisha tiga tahun mengerti keadaan ini, yah!! keadaan yang aku dan dia sangat pilu menerimanya, gejolak kata berhambur-hamburan dalam ruang hatinya.
"...sayang, Ummi gak pergi lama kok?..." bohong yang sangat nyata mencoba membodohi Aisha. dengan harapan si Aisha tenang, setidaknya bisa tidur malam ini.
****
Berdentang-dentang bunyi jam dinding peninggalan kakek Aisha di dinding sebelah barat, sebanyak satu kali. Sudah bisa ditebak, malam ini jam 01:00 dini hari, sedang bersunyi-sunyi insan dengan mimpinya, berpagut-pagut dengan selimut, mengurai lelah seharian mencangkul di sawah atau mengembala itik siang tadi. Aisha terbawa alam bawah sadar merobek keheningan jam 1 malam.
"....Ummi, ikuuuuttt..." kata-kata itu jelas tanpa ada yang blur, Aisha mengigau dalam tidurnya, merembes lagi air mata melepaskan diri dari pelupuk matanya. Sontak aku terjaga dari tidur lelah-sedihku. "…Ya Allah..." aku berucap lirih dalam hati memandangi erangan Aisha di malam sunyi akan kerinduan seorang bocah kepada Ummi-nya, anak yang lugu, polos, haus kasih sayang yang biasa malam-malamnya dipenuhi lantunan ayat suci al-Quran yang dirapalkan ke telinga oleh Ummi-nya sambil mengelus kening si bocah, tertidurlah dalam buaian Ummi-nya. Sekarang apa? semua berubah, telinganya sunyi dari lantunan ayat suci al-Quran yang biasa didendangkan Ummi-nya, keningya siapa yang mengelus-elus sampai dia begitu terbuai diantarkan ke alam mimpi, bisakah aku melakukannya? mungkin bisa, tapi apakah kerinduan akan Ummi-ya tergantikan oleh Abi-nya, apakah mukjizat tangan Ummi-nya sama dengan tanganku, bisakah dia menggantikan kasih Ummi-nya yang sudah terinstall terpaku dalam alam bawah sadarnya sejak dalam kandungan, kemana harus dia cari pengganti Ummi-nya, tidak! tidak akan ada yang menggantikannya, kecuali ia menemui Ummi-nya di syorga, mungkin tidak sekarang tapi nanti, bukan dia saja, aku juga rindu Ummi-nya, kita semua akan ke sana. Selesai igauan Aisha, lalu dia terbangun cepat terduduk di sampingku, dengan irama sesak yang jelas di dadanya. Tertegun-tegun dia mengatur nafas dan emosi, aku hanya bisa memeluknya dalam dekapan hiba dan putus asa. "...Aisha? ini Abi nak..." semoga kata ini mujarab bagi dia.
"...Aisha kangen Ummiii...." meledak-ledaklah hamburan tangisnya, bagaikan serangan peluru yang sporadis dari ujung senapan tentara. Ku kecup kening dan pipinya, Aisha meronta-ronta sambil terus meneriakkan kerinduaanya. Temaran nyala lampu di dinding mengalihkan pandanganku ke sebelah kanan Aisha, sebuah kain petak segi empat, kuraih dan aku hapuskan ke pipinya, menyerap sisa basahan airmatanya. Aisha memegang erat-erat kain itu, sambil menangis dibalik tutupan kain ke mulutnya, sesungukan tanda akan mereda. Aku terus memeluknya erat, satu, dua tiga, hitungan menit Aisha meneduhkan tangis, sambil aku rebahkan lagi tubuhnya di kasur.
Kuperhatikan kain segi empat masih diremas-remas dibalik picing mata, tanpa ada niat melepaskannya, kubiarkan saja. akhirnya Aisha kembali dibujuk dingin malam, meneruskan belaian mimpi yang tertunda oleh kerinduan yang tidak akan pernah terwujud. Terpana aku melihat separoh wajahnya tertutupi kain segi empat itu. Ingatanku melayang-layang, akhirnya tersangkut pada sebuah masa lalu.
Aku masih ingat jelas, sering Aisha berlari-lari sepanjang lantai rumah, tertawa sambil menyandang kain segi empat itu, karena baru saja berhasil mencopot dari kepala Ummi-nya, kadang dengan lucunya dia coba pasang sendiri dan bergaya di depan cermin lemari, dan kembali kepada Ummi-nya "...Ummi, Aisha cantik kan?..." itu katanya, sebenarnya meminta pembenaran, kalau dia pun cantik pakai itu. "...Masyaallah, Aisha? sini nak, biar Ummi pasangin jilbabnya bagus-bagus...." karena jilbab hasil pasangan Aisha menutupi pipinya sebelah kanan, dan menjelaskan rambut kepala di bagian kiri. Aisha berlari ke arah Ummi-nya. Selesai jilbabnya diperbagus, kemudian Aisha berlari ke arahku yang duduk di teras depan, merapikan jala ikan yang sobek "...Abi,,, " Aisha menyapaku, tanpa melanjutkan kata-kata. Hanya berpose di depanku dengan kuluman senyum malu-malu, seakan mengatakan "…Aisha cantik kan Bi?", "..Ha..ha..ha.." tersembur ketawaku melihat dia pakai jilbab, tapi celana yang dipakai celana kecil yang di atas paha, celana saat dia masih bayi, terbalik lagi "..Ha..ha.." sambutan tertawa dari Ummi-nya dalam rumah jelas terdengar "..Nak? masak Jilbab, celana kayak begini, ayo tukar dulu celananya, biar cantik anak Abi..." Aisha berlarian ke dalam rumah, kemudian terdengar "...Ayo sini Aisha, Ummi ganti dulu celananya.." Umminya mengulang kata-kata itu tiga kali. Ternyata Aisha tidak mau, dia hanya berlari-lari sepanjang rumah ",,,Nggak mau,,,nggak mau..." Aisha bersitegang tidak mau menukar celananya yang juga terbalik.
Berlinang-linang airmataku mengingatnya, sementara Aisha sudah kembali sunyi dari igauannya, sekarang aku yang tidak bisa melanjutkan tidur, sambil memeluk lutut aku bersusah-susah menghentikan sesak di dada.
****
Matahari baru saja menghalau titik embun di goyang daun ilalang, semburat kuning menggantung di timur langit gubuk ini. Semua bercerita tentang terang, mendongeng tentang berjuang, membisik tentang siang, yah! siang akan menjelang. Hembusan bayu masih malu-malu mengecup kuncup yang tertinggal dingin, menjamah kabut-kabut air yang merenda di wajah sungai.
Adalah sepiring nasi terduduk diam dipangkuan dua unjuran kakik mungil, diremas-remas tak tentu nasib, nasi itu kadang jatuh ke piring lagi, sangat jarang akan bisa mencapai mulut, dua bulir bening senantiasa mengitari pelupuk matanya yang sendu, kadang nasi tersangkut dijilbab coklat yang terjuntai di tubuhnya. Kebingungan di atas kebingunan mengelabui rasanya, adakah kuat sekecil ini mencoba kehilangan orang yang dia cintai, bolehkah bersedih anak sekecil ini menanggung kepedihan dengan kepastian hari-harinya sudah kehilangan Ibu tercinta, aku tidak bisa mengatur takdir, aku tidak bisa merayu takdir, akan kuterjemahkan apa semua ini? aku bertanya kepada sunyi yang menyeringai di kotak hati.
Segelas teh memuai panas di ujung gelas, mataku jauh menembus, tumpukan batang padi menjelajahi kelok-kelok bayangan yang mendering di lingkar bukit. Masih jelas pesan-pesan warga yang berdatangan malam tadi tentang kesabaran, ketabahan, keikhlasan. Pak? Buk? terimakasih penyejuknya.
Aku dan Aisha sedang dirundung dera duka berlapis-lapis. Dua bulan yang lalu, Aisha tidak pernah berpisah dengan Ummi-nya, selalu bermanja-manja, bercerita ngalor-ngidul, ada saja tingkah yang ditampilkan untuk bermain-main dengan Ummi-nya, satu hal yang membuat dia berbeda dari masa sebelumnya. Masa sebelumnya Aisha kecil sering merengek kepada Ummi-nya, "...Ummi, pinjam dedek Farhan..." seketika dia bermain dirumah tetangga, melihat anak tetangga yang masih kecil umur sembilan bulan, ungkapan polos itu sering terdengar. Dalam waktu lain, Aisha sering menceracau,
"...Aisha pengen dedek...? desaknya tak dapat disanggah ataupun dirayu. Kerinduan seorang Aisha kecil kepada seorang adik untuk teman bermain adalah keinginannya yang selalu setia dirapal dari mulut mungilnya.
Allah swt memberikan izin, mendengar raungan hati Aisha kecil, Ummi-nya mengandung seorang jabang bayi, Aisha senang bukan kepalang, bahkan dua bulan yang lalu, disaat perut Ummi-nya semakin besar, Aisha tahu betul, itulah dedek yang dia rindukan, tak mau sedikitpun terlengah dari mengitari dan mengelilingi aktivitas Ummi-nya, kadang ketika Ummi-nya istirahat Aisha terlelap di Perut Ummi-nya, ketika disuruh beranjak agar jangan mengganggu istirahat Ummi-nya, Aisha marah dan menggeleng-geleng sambi berucap "…Aisha sayang sama dedek…" sambil memeluk perut Ummi-nya. apa yang hendak dibuat, terpaksa Ummi-nya bersabar akan tingkahnya itu. Toh dia adalah insan yang sedang dimabuk rindu, menanti si dedek cepat hadir kedunia, meramaikan gubuk ini.
Bahkan belakangan ini hari-hari Aisha sangat ceria sebelum dentuman lara ini mendera, bahkan Asiha tidak penat-penatnya menolong Ummi-nya melakukan aktivitas yang dapat dia lakukan, bahkan dia akan nurut kepada Ummi-nya kalau sudah dibilang atas nama "Dedek".
"...Aisha jangan dibuang-buang nasinya..." sergah Ummi-nya seketika mendapati Aisha memainkan nasi dalam piringnya, namun kadang tiada diperhatikan nasehat Ummi-nya. "...Nak? kalau dibuang-buang nasinya, dedek-nya makan apa ntar.." politik Ummi-nya mulai muncul, seketika Aisha tebelalak kalau disebut-sebut nama "dedek", langsung menghentikan larangan itu. Pokoknya segala tingkahnya yang tidak baik, berlari-lari, berkotor-kotoran, menangis tidak karuan akan terhenti kalau disebut atas nama "dedek". memang begitulah Aisha kecil, sangat rindu dan sayang sama "dedek". Bahkan aku harus melerai Aisha yang menggigit tangan tetangga yang menjadi sopir saat Ummi-nya pergi ke rumah sakit dibawa dengan mobil, saat hendak melahirkan beberapa hari yang lalu, dalam pikirannya, si sopir mengambil Ummi dan dedek tercinta yang dielukannya selama ini. Sabar ya nak? desahku dalam hati, semua itu telah melayang terbang, aku tidak bisa mengira-ngira kedalaman sedihmu nak? Ummi yang kau cinta telah pergi ke Haribaan-Nya, dedek yang kau tunggu telah pergi bersama Ummi-mu, Nak? aku tahu tidak pantas kau menerima duka sekejam ini, tapi aku ingin kau bisa terima, kuatlah nak, tegarlah nak, songsong harimu tanpa Ummi tercinta, lewati harimu tanpa dedek yang kau minta, walau aku tahu sering kau melumam air mata yang melewati bibirmu, walau sering kulihat tanganmu nanti menengadah di pusara Ummi-mu berhiasan isakan kecil yang memilukan. Aku tidak ingin melihat tangis kerinduanmu tapi aku juga tidak bisa larang kesedihanmu, kau adalah hadiah terindah dari Ummi-mu, akan kujaga kau dengan sebisa dan semampu sayap-sayap kehidupanku. Terima kasih untuk isteriku tercinta, kau telah syahid di mata-Nya, karena meninggal seorang wanita yang ada janin dalam kandunganya adalah sebuah mati syahid, tunggu kami disyorga, kan kujaga anak kita Asiha, sesuai denga impian kita, semoga doa-doa Aisha selalu mengalir dalam jiwa yang sholeha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H