Pada hakikatnya, hukum itu sendiri merupakan pencerminan dari jiwa bangsa (volkgeist) yang bersangkutan. Apabila masyarakatnya sudah mengalami degradasi moral dan cenderung individualistik, maka keadaan itu jelas akan berpengaruh pada pembentukan dan penegakan hukum yang cenderung berpihak kepada yang bisa memberikan keuntungan secara pribadi. Syahdan, hukum, budaya, dan moral adalah tiga unsur penting yang saling bertalian dalam menciptakan hukum yang adil di tengah-tengah masyarakat.
Hilangnya Moralisme Hukum Indonesia
Sebelum Indonesia menyatakan diri sebagai negara hukum, telah berlangsung hukum adat sebagai hukum moral dari masyarakat Indonesia. Sari pati dari asas hukum adat itu kemudian dikonsepkan oleh para founding father dalam Pancasila sebagai cerminan dari jiwa bangsa Indonesia yang semestinya dijadikan sebagai rechts idee bagi berkelindannya sistem hukum Indonesia. Rumusan ini semata-mata ditujukan agar hukum Indonesia bisa diterima dan menyatu sebagai hukum yang hidup (living law) di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Globalisasi dalam desain kapitalisme baru (neo-kapitalisme) telah membentuk sistem sosial dan budaya masyarakat yang menguntungkan bagi pihak yang kuat dalam sisi modal (keuangan) melalui persaingan bebas. Sistem sosial budaya tersebut dibangun di atas pondasi sistem ekonomi pasar bebas yang mengizinkan para pemilik modal dapat berkompetisi dengan bebas tanpa batasan. Tidak ada batasan moral dalam kompetisi dan tidak ada batasan negara untuk berinvestasi. Konsep kebebasan (liberalisme) ini berbeda dengan liberalisme klasik karena sifatnya yang terselubung sehingga disebut juga dengan konsep kebebasan baru (neo-liberalisme).
Konsep invisible hand (tangan tak terlihat) dari neo-kapitalisme dilakukan melalui pembentukan pola ketergantungan terhadap uang untuk menjalani hidup dan perikehidupan di masyarakat dan negara. Dalam konteks negara, neo-kapitalisme telah mencengkeram Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru melalui pembentukan hukum ekonomi yang berkiblat pada pasar. Akibatnya, keuntungan ekonomi negara lari kepada pihak yang memberikan pinjaman modal (seperti Bank Dunia dan IMF) dan swasta yang menanamkan investasinya di Indonesia. Ketiadaan keuntungan inilah yang akhirnya membuat suatu negara bangkrut seperti krisis ekonomi yang dialami Indonesia tahun 1998 dan berakibat pada lengsernya presiden Soeharto. Namun sayangnya, reformasi 1998 justru semakin membuka lebar masuknya neo-liberalisme dan neo-kapitalisme dengan perubahan besar-besaran dalam sistem hukum melalui perundang-undangan di bidang politik dan ekonomi yang semakin berkiblat pada pasar.
Dalam konteks masyarakat, era keterbukaan dan kebebasan pers atas nama demokrasi (sejak reformasi 1998) telah membuat jauh budaya hukum dari Pancasila karena terpolarisasi budaya Barat yang liberal, invidualistik, dan materialistis. Budaya hukum tersebut masuk berbarengan dengan tergerusnya kredibilitas Pancasila sebagai akibat disimpangkan pemahamannya di era Orde Baru. Sistem hukum ekonomi pembangunan (Orde Baru) sebenarnya tidak lebih dari pada turunan dari hukum ekonomi liberal yang lebih menguntungkan pihak-pihak asing di satu sisi, dan menguntungkan penguasa dan kroni-kroninya di sisi lain. Penyelenggaraan hukum ekonomi sedemikian oleh Orde Baru malahan ditasbihkan sebagai  pelaksanaan dari nilai-nilai Pancasila yang murni dan konsekuen. Saat Presiden Soeharto lengser, Pancasila tak ubahnya seperti kambing hitam yang perlu untuk dikandangkan. Saat bintang pemandu (Pancasila) dikandangkan, neo-kapitalisme dan neo-liberalisme masuk dan berikutnya menjadi bingkai sistem hukum Indonesia.
Neo-kapitalisme dan neo-liberalisme juga telah mengakibatkan pola ketergantungan terhadap uang yang pada akhirnya memalingkan masyarakat dari ajaran-ajaran moral. Budaya hukum masyarakat Indonesia yang dahulunya bersifat magis religius mulai tergantikan dengan nilai-nilai materialistis dan sekuler. Agama hanya dijadikan simbol-simbol sebagai alat politik untuk mendapatkan simpati dalam mendapatkan kekuasaan ketika pesta demokrasi berlangsung. Kuasa uang juga berhasil menyingkirkan nilai-nilai komunal yang menjadi ciri khas kepribadian bangsa Indonesia. Tidak ada ajaran tolong-menolong dan gotong royong dalam konsep kompetisi sehingga membuat masyarakat bersifat individualistik. Pola ketergantungan terhadap uang ini semakin diperparah melalui pembentukan budaya konsumtif, hidup mewah dan senang-senang (hedonistik) yang dibangun melalui media teknologi dan informasi. Pada akhirnya, ketika uang sudah berkuasa dalam masyarakat, maka yang memiliki uang (modal) terbesarlah yang akan berkuasa.
Terbentuknya manusia yang mengkuasakan modal, juga telah mempengaruhi sistem pendidikan yang pada akhirnya melahirkan generasi berilmu tapi mengabaikan sisi kebaikan dan moralisme dari ilmu. Dengan nuansa sedemikian, jelas mempengaruhi paradigma akademisi untuk kemudian lebih berkiblat pada hukum-hukum logika Barat yang lebih menjunjung akal dari pada moral. Dengan paradigma itu telah membentuk hukum ekonomi yang berbau neo-kapitalisme dan di bidang politik yang berbau neo-liberalisme.
Di bidang politik, neo-liberalisme menawarkan sistem demokrasi liberal yang jauh dari nilai-nilai moral. Dalam sistem demokrasi ini, kekuasaan pembentukan peraturan (legislatif) dan kekuasaan pelaksanaan peraturan (eksekutif) harus diperoleh melalui konsep perebutan kekuasaan atau kompetisi bebas yang memungkinkan para pemilik modal bisa mendapatkannya. Akibatnya, sistem politik ini dibangun dengan biaya mahal. Sistem politik dan kekuasaan ini kemudian dikendalikan melalui sistem partai yang mengikat kekuasaan legislatif dan eksekutif. Keduanya kemudian didesain sedemikian rupa untuk mengikat kekuasaan yudikatif menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan untuk mengendalikan suatu negara. Dari sini, kita dapat melihat keterkaitan antara politik dalam pembentukan dan penegakan hukum yang terikat dalam satu rangkaian kejahatan yang disebut dengan mafia hukum/peradilan. Dikatakan jahat karena jauh dari ajaran-ajaran moral.
Di bidang ekonomi, hukum dibuat dan ditegakkan berdasarkan paradigma profit oriented yang lebih berpihak kepada pasar. Jiwa individualistik telah melahirkan paradigma hukum baru mengenai apa yang menjadi tujuan perekonomian negara. Paradigma ini mengajarkan bahwa kemakmuran rakyat hanya dapat direalisasikan melalui konsep persaingan bebas di bidang ekonomi. Kondisi inilah yang memungkinkan para pemilik modal begitu digjaya untuk menerapkan motif ekonominya dengan memanfaatkan pejabat-pejabat yang korup dalam menguras sumber daya alam di Indonesia.
Â