Mohon tunggu...
Muhamad Daerobi
Muhamad Daerobi Mohon Tunggu... Administrasi - Ga Neko-neko, sederhana saja, mencoba jadi pembaca yg cinta kesederhanaan

Ubi Liberte Ubi Patria diskursusidea.blogspot.com "Seorang Pecinta Kesederhanaan"

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Manusiawikah Hukuman Mati?

27 April 2015   09:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:39 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca dikeluarkannya surat perintah eksekusi mati gelombang II oleh pihak Kejaksaan, maka 9 orang terdakwa pidana mati sudah final dan tidak bisa diganggu gugat untuk membatalkan eksekusinya. Perdebatan sengit tentang hukuman mati pun kian merambah cakrawala tersendiri bagi eksistensi hukum pidana Indonesia. Persoalan pro dan kontra sudah tidak diindahkan lagi bagi pemerintahan jokowi-JK. Jawabannya tak lain adalah karena secara tertulis (normative), Indonesia sampai saat ini masih belum juga merevisi pidana warisan Code Penal Perancis dan Wetboek Van Strafrecht Belanda tersebut. Jelas, di sini asas legalitas sangat berperan penting untuk melancarkan eksekusi mati kepada terdakwa, disamping alasan lainnya.

Hukuman mati digolongan dalam pidana berjenis extra ordinary crime, yang memerlukan penanganan secara ekstra keras, maka dalam proses penegakan hukum pidananya. Lebih jelasnya hukuman mati diatur dalam pasal 10 KUHP, yang memuat dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok, terdiri dari: Hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda; Hukuman tambahan terdiri dari: Pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim.

Bagi yang pro, menurut C. Nur Patria, hukuman mati sebenarnya bertujuan bukan untuk balas dendam, tetapi sebagai suatu cara untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Lebih tegasnya, hukuman mati bertujuan pada unsur, yaitu keadilan, kepastian hukum dan manfaat atau kegunaan. Dari aspek keadilan, maka penjatuhan hukuman mati seimbang dengan tindak kejahatan yang dilakukannya (terorisme, narkoba, pembunuhan berencana, dll). Dari aspek kepastian hukum, yaitu ditegakkannya hukum yang ada dan diberlakukan, menunjukkan adanya konsistensi, ketegasan, bahwa apa yang tertulis bukan sebuah angan-angan, khayalan tetapi kenyataan yang dapat diwujudkan dengan tidak pandang bulu. Kepastian hukum juga hal yang penting bagi terpidana mati, yang sudah barang tentu berada dalam penantian sejak dijatuhi vonis mati pada tingkat pengadilan pertama sampai dengan ditolaknya grasi oleh Presiden. Dari aspek manfaat/kegunaan, hukuman mati akan membuat efek jera kepada orang lain yang telah dan akan melakukan kejahatan, serta juga dapat memelihara wibawa pemerintah serta para penegak hukum.

Persoalannya adalah apakah hukuman mati merupakan alat rekayasa yang paling mutakhir dalam peradaban yang konon menjunjung tinggi nilai martabat asasi manusia? Humaniskah ketika hukuman mati diparadigmakan sebagai aspek balas dendam (retributive)? Padahal semangat hukum pidana telah mengalami perubahan ke arah  restoratif (restorative justice). Di sisi lain, hukuman mati juga tidak memberikan efek jera kepada para mafia untuk melancarkan aksi extra crime-nya. Persoalan lainya adalah apakah putusan hakim menjatuhkan vonis pidana mati kepada para terdakwa benar-benar terbukti sangat meyakinkan (beyond reasonable doubt)? Dan apakah hukuman mati merupakan buah pembelajaran bagi yang lainnya? Humaniskah hukuman mati diterapkan kepada kita sekarang?

***

Kacamata pengadilan telah membuktikan bahwa para terdakwa terbukti tanpa hak dan melawan hukum melakukan tindak pidana extra ordinary crime. Namun berdasarkan pengamatan lainnya, ada yang perlu dicatat yaitu ketika hakim melakukan pembuktian dalam persidanganm, tindak pidana (delik) tidak hanya sekedar dilihat dari “memilki” dan “menguasai” narkoba. Menurut Prof. Indriayanto Seno Adji, seharusnya lebih dari itu, seperti bagaimana dan dengan cara apa barang haram tersebut bisa ditangan para terdakwa, tak lain sebagai barang bukti ada tidaknya unsur tanpa hak dan melawan hukum. Lebih lanjut menurutnya, kalau tidak ada fakta/bukti (evidence) tentang bagaimana dan dengan cara apa barang tersebut datang, secara otomatis tidak ada kesalahan dan melawan hukum.

Apabila, para terdakwa memang secara materiele daad terbukti menguasai dan memiliki, artinya ada actus reus, tidaklah selaluharus diartikan dengan melanggar  tindak pidana. Karena masih harus dilihat ada tidaknya mens rea pada diri para pelaku berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan (afwijzigheid van alle schuld), walaupun secara gramatikal perbuataannya memenuhi rumusan delik. (Indriayanto Seno Adji, 2009, 261-262).

Bayangkan saja, misalnya seorang melempar senjata api/peluru ke halaman rumah tetangganya yang kebetulan terganggu hubungan diantara keduanya, dan si pelempar  memberitahu ke polisi bahwa tetangganya memiliki tanpa hak senjata api. Polisi datang dan menemui senjata/peluru yang tidak diketahui pemilik rumah, sekaligus pemilik rumah dikenai pelanggaran Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No. 12 tahun 1951. Hal itu sama halnya menempatkan seseorang dengan persangkaan fitnah bahwa ia melakukan delik lasterlijke verdach-making, yang pada akhirnya ia bisa dijerat dengan melakukan tindak penguasaan atau kepemilikan.

***

Jika kita melihat spirit konstitusi kita pasca amandemen, sebetulnya arah humanisme sistem peradilan pidana telah memberikan ruang pada nilai martabat manusia. Pasal 28A yang menyatakan bahwa: Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Karena itu termasuk ke dalam hak non-derogable human right—yang sifatnya tidak bisa dikurangi dan  dibatasi dalam keadaan apapun. Disamping itu, sebagai hukum dasar tertinggi (Grundnorm), seharuslah menjadi pedoman bagi segenap aturan hukum dibawahnya. Dilain pihak berdasarkan aturan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tentang hak untuk hidup (right to life) menyatakan bahwa “Setiap manusia berhak untuk hidup dan mendapat perlindungan hukum dan tiada yang dapat mecabut hak itu”.

Namun di sisi lain, konstitusi serta turunan hukum positif Indonesia masih memberikan gerak untuk mencabut hak-hak seseorang dalam keadaan tertentu, yaitu seperti dengan menghukum mati pada terdakwa dengan beberapa persyaratan. Hal itu juga tertuang dalam konstitusi kita pada Pasal 28 J ayat (2) yang berbunyi: dalam menjalankan hak dan kewaijbannya, setiap orang wajib dan tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang….”, makna pembatasan merupakan kualifikasi secara limitatif gerak seseorang untuk mendapatkan haknya secara terbatas.

Sekilas konstitusi kita memberikan ruang perlindungan HAM sekaligus membatasi pada hal-hal tertentu. Namun sangat jelas arah tujuan pidana hukuman mati Indonesia seperti logika Lombroso dan Garofalo (kriminolog), yang menyatakan: “pidana mati adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu-individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.

Perwujudan nilai hak asasi manusia untuk mempertahankan hidup di Indonesiatelah tercabut dengan memasukan tindakan pidana tertentu pada golongan extra ordinary crime, yang memerlukan penanganan secara ekstra keras. Siapa bilang perbuatan pidana seperti narkoba, terorisme, pembunuhan berencana dan lain-lain—bukan perbuatan yang merugikan orang lain. Sangat betul 100% orang berpendapat ketika mereka telah melanggar pidana telah merusak tatanan masyarakat pada umumnya, bahkan telah menghancurkan generasi muda hingga berjuta-juta penerus bangsa ini.

Namun perlu diingat adalah hukum bukan saja seperti yang dibilang oleh Thomas Hobbes, Lombroso, Garofalo dan lain-lain—yang memberikan paradigma “hukum tak lain sebagai legitimasi efek jera pada manusia untuk dirubah dari sifat jahatnya. Logika seperti ini menandakan manusia merupakan makhluk jahat (homo homini lupus), yang pada akhirnya hukum bukan sarana pendidikan ke arah lebih baik. Tetapi menghakimi sifat manusia yang jahat dengan memusnahkannya.

Teori ini sebetulnya telah dibahas jauh-jauh hari, seperti yang Yesmil dan Adang, bahwa tujuan pemidanaan dalam KUHP tak lain untuk mempertahankan teori pencegahan umum (algemene preventive). Teori ini ingin mencapai tujuan pidana itu sendiri, yaitu semata-mata dengan membuat jera kepada setap orang agar mereka tidak melakukan kejahatan-kejatahan, terlebih ditunjukan kepada khalayak ramai. Dilain pihak, pemidanaan bertujuan sebagai upan balik agar gerak suggesti masyarakat lainnya tidak melakukan hal yang sama. (Yesmil Anwar & Adang, 36).

Persoalannya adalah apakah sikap manusia yang telah melakukan tindak pidana berat tidak bisa diresosialisasi atau diperbaiki? Jika jawaban negara hanya hukuman mati, jelas hukum kita tak ubahnya seperti warisan Prancis-Belanda yang hanya mengandalkan manusia tidak bisa diubah dengan cara apapun (fatalism).

Catatatan kecil yang sederhana, pernahkah terpikirkan bagi penegak hukum khususnya Presiden memberikan grasi dengan nilai lebih manusiawi, seperti tetap mempidanakan para terdakwa, dengan beberapa catatan riwayat perjalanan dengan rentang waktu yang cukup panjang, seperti 20 tahun. Karena demikian akan bisa memperlihatkan keseriusan negara untuk memperbaiki tindak, moral dan sikap para terdakwa untuk kembali lagi pada martabat asasi manusia sebagai makhluk yang baik tanpa noda dan dosa. Hal itu senada dengan pendapatnya Jean Jacques Rousseau, manusia merupakan mahkluk baik, faktor eksternal-lah yang membuat mereka tidak baik. Dari itu juga pemidanaan khusus menjadi media pembelajaran berharga untuk mengembalikan kebaikannya, bukan menghancurkannya.

Alasan efek jera yang ditimbulkan hukuman mati hanya mitos serta merupakan alasan yang direka-reka menurut beberapa pengamat. Hal ini dilihat dari survei komperehensif yang dilakukan oleh PBB pada 1988 dan 1996 yang menunjukkan fakta tak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa eksekusi mati memiliki efek jera yang lebih besar dari hukuman penjara seumur hidup. Tidak fair, manakala menempatkan logika perbuatan hukum hanya dilihat dari segi kausalitas (sebab-akibat), karena hal ini akan memunculkan pihak yang bersalah 100% adalah pihak tersangka/terpidana/terdakwa. Proses penegakan hukum pidana pada extra ordinary crime seharusnya memperhatikan prinsip penegakan HAM (doe process of law)dalam rangka mamanusiakan manusia (to humanize human being).

Perlu dicermati juga, eksekusi hukuman mati Indonesia secara langsung akan berpengaruh pada hubungan diplomatik antar negara, baik terkait masalah ekonomi, sosial, politik-budaya, tetapi yang palng menyakitkan yaitu diplomasi terkait para pekerja migrant Indonesia yang telah divonis hukuman mati di luar negeri. Dari tahun ketahun, upaya untuk membebaskan pekerja migran masih bermasalah, itu terlihat beberapa kali pemerintah kecolongan dalam melakukan diplomasinya kepada pihak negara luar.

*Salam Pecinta Kesederhanaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun