Mohon tunggu...
Muhamad Aris Safrizal
Muhamad Aris Safrizal Mohon Tunggu... Programmer - Pelajar

Aries

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kritik Film The Platform

10 Maret 2021   00:29 Diperbarui: 10 Maret 2021   00:35 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini saya akan membahas tentang kritik dari film yang saya tonton, The Platform, adalah film horror/thriller fiksi ilmiah produksi Spanyol arahan Galder Gaztelu-Urrutia. Film yang didistribusikan oleh Netflix ini, diputar pertama kali dalam ajang Toronto International Film Festival 2019. Film berdurasi 94 menit yang dibintangi oleh para pemain lokal, yakni Ivn Massagu, Antonia San Juan, Zorion Egileor, serta Emilio Buale Coka.

Film The Platform mengusung tema tentang kesenjangan sosial lewat potret cerita fiksi di dalam sebuah penjara, film dari Spanyol ini ingin menggambarkan bagaimana sistem kapitalisme sangat merugikan orang-orang miskin.

Bercerita tentang seorang pemuda bernama Goreng (Ivan Massagu) yang mengajukan diri masuk ke The Hole, penjara vertikal dengan ratusan tingkat dari lantai atas hingga paling bawah yang masih menjadi misteri. The Hole hanya memiliki satu Platform yang menyajikan banyak makanan lezat setiap harinya. Namun, semakin rendah lantai yang didapatkan, maka semakin sedikit makanan tersisa untuk para narapidana tersebut.

Goreng masuk ke dalam penjara secara sukarela demi menukarnya dengan gelar Diploma setelah bebas. Saat pertama masuk, dia memilih hanya membawa bekal buku Donquixote dan ditempatkan dalam sel no. 48, yang juga menandakan level ruangan. Aturan di penjara itu adalah napi boleh membawa 1 barang ke dalam penjara tersebut, lalu ada dua narapidana di setiap lantai. Keduanya secara acak ditugaskan ke lantai baru bersama pada awal setiap bulan dan satu-satunya makanan mereka disajikan di hamparan makanan raksasa yang secara ajaib turun melalui celah di tengah menara setiap 24 jam.

Film bergenre thriller tersebut menceritakan sistem makan di sebuah penjara vertikal. Dikatakan vertikal karena terdapat banyak lantai, dengan mengisi 2 tahanan per lantai. Sistem pembagian makanan mengubah para napi menjadi hewan yang kelaparan. Sebuah mimbar berisi makanan penuh akan datang dari lantai paling atas atau lantai 0 dan akan berhenti di setiap lantai. 

Sayangnya, dengan tipe ending yang ngegantung, film ini terasa nggak memberikan solusi baru. Mereka seolah hanya berperan sebagai penyaji masalah. Berusaha senetral mungkin di balik dalih menyerahkan ending pada benak penonton.

Latar belakang film yang begitu suram dan membosankan agak membuat penonton ngantuk. Mereka yang dari awal nggak punya jiwa skeptis memang bakal sulit menikmati hiburan semacam ini, tentang teka-teki dan pemaknaan tersembunyi di baliknya.

Sementara bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi, layak berbahagia karena film The Platform bisa jadi objek penelitian semiotika yang begitu menarik dan tersaji dengan lengkap.

Unsur dari film ini menunjukkan bahwa sistem kapitalisme hanya akan membuat orang yang sudah kaya semakin kaya dan orang yang miskin tidak memiliki kesempatan untuk bisa naik ke atas. Sangat cocok dengan keadaan pandemi yang terjadi sekarang di mana orang-orang yang mampu mulai membeli seluruh stok bahan baku, masker, dan hand sanitizer hingga harga barang-barang tersebut jadi melonjak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun