Betapa sepinya dunia tanpa debu yang tersangkut di bulu matamu, bahkan ketika kedua ufuk bertemu, hilal kesetiaan yang baru timbul dengan cara yang sama, muncul diakhir senja gelap yang cahayanya redup sedari siang. Harummu masih saja menempel di jaketku, sudah kucuci berkali-kali namun wangi sabunnya kalah dengan harummu yang candu, entah harus ku-salahkan siapa, tanganku atau tutup botol sabun itu. Kekasihku yang manis, kukirimkan detak jantung ini padamu dalam kedaan berhenti. Agar setidaknya kau tahu bahwa aku sudah mati. Mempersiapkan alam kehidupan baru untuk kita berdua nanti. Akan kubocorkan teka-teki kelanjutan hidup itu paadamu dan untuk saat ini kau tak perlu buru-buru.
Di tepi danau ini akan kusiapkan sampan berlapis permata yang dengannya gelombang air akan menjadi sahabatmu. Akan kutunggu kau di seberang daratan itu, berdiri dengan jawaban yang menjadi rahasia itu.Â
Kekasihku yang cantik, aku benar-benar takut sekali waktu sebelum ajal menemuiku, aku benar-benar takut jika kau pergi meninggalkanku lebih dulu. Aku harus apa dan bagaimana, sedang kau di sana dengan siapa? Aku tak tahu. Jadi, lebih baik aku pergi lebih dahulu, untuk menunggumu di tepi kehidupan baru. Kehidupan denganmu bersamaku.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H