Kehidupan yang sedang kita jalani saat ini ialah bentuk dari perjalanan hidup yang harus kamu syukuri. Karena pada hakikatnya perjanalan hidup kita itu sudah ada yang mengatur dengan sedemikian rupa, baik kesenangan ataupun kesedihan, itu lah warna daripada kehidupan itu sendiri. Sebenarnya kita tidak perlu khawatir akan kesedihan yang datang kepada kita, karena balik lagi semuanya sudah di atur dan harus yakin bahwa suatu saat kesedihan itu akan tergantikan dengan kesenangan.
Namun bila di tinjau di era modern sekarang, gaya hidup itu seakan bisa berubah dengan cepat, semua orang seakan bisa menentukan gaya hidup yang bisa mempengaruhi orang lain. Hal ini tentu akan berdampak terhadap standar kehidupan sosial, yang dimana semua orang yang menggunakan sosial media kemungkinan bisa menyerap dari standar hidup yang dibuat. Seperti contohnya bahawa banyak sekali yang  beranggapan ketika di dalam media sosial itu banyak yang setuju terhadap sesuatu, yang dimana sesuatu tersebut belum tentu benar dan baik bagi kehidupan sosial, mereka berani menganggap bahwa semua orang harus mengikuti dari apa yang sudah disepakati banyak orang. Dan yang lebih mirisnya, ketika ada orang tidak sepakat atau bisa dikatakan minoritas, mereka di anggap tidak bisa beradaptasi terhadap kemauan dari banyak orang tersebut.
Tentu fenomena ini yang sedang terjadi di kalangan masyarakat khususnya dalam media sosial. Semua orang bisa menentukan standari kehidupan sesuai apa yang mereka mau. Kecepatan informasi menjadi salah satu faktor pendukung kuat dalam membuat standar kehidupan di media sosial
Pokoknya harus 'begini', yang 'begitu' gak di ajak
Perdebatan dalam dunia kehidupan merupakan sesuatu yang wajar, karena manusia di ciptakan penuh dengan bermacam-macam pemikiran. Maka sangat wajar ketika manusia berada dalam ruang perdebatan. Namun, yang harus di lihat dari sebuah perdebatan ialah bagaimana kita bisa menghargai argumen dari lawan debat kita.
Di era sekarang, justru perdebatan menjadi suatu hal yang tabu, berlagak seperti orang berdebat, tapi ketika argumen nya di debatkan malah menyerang pribadi orang nya bukan isi dari argument nya. Hal ini justru yang harus di hindari dari sebuah perdebatan. Bila di lihat dari dasar-dasar Logika, ini termasuk dalam kategori argumentum ad hominem ialah sebuah strategi perdebatan ketika seseorang menyerang orang yang membuat argument di banding menyerang subtansi dari argument itu sendiri. Ketika sudah ada di tahap itu, maka esensi dari perdebatan itu sudah pudar. Apalagi sampai menyerang pribadi lawan debat yang tidak setuju terhadap argumennya, sehingga hal ini akan menciderai nilai-nilai perdebatan dalam masyarakat.
Sama hal nya ketika dikaitkan dengan fenomena sosial yang terjadi di media sosial, banyak orang yang sering mendiskusikan sesuatu di kolom komentar. Yang lebih menggelitiknya isi dari komentar tersebut ialah di dorong karena nafsu yang tinggi serta opini yang liar untuk mendiskusikan sesuatu itu. Selanjutnya Ketika ada orang yang memberikan pandangan melalui sebuah kajian ilmu, dan posisinya pandangan tersebut bersebrangan dengan pendapat yang lain. Terkadang semua orang akan menyerang pribadi orang yang memberikan pandangan melalui kajian ilmiah tersebut, di banding mendebatkan isi argumennya.
Menurut saya fenomena ini merupakan kondisi yang sangat menkhawatirkan, seakan berlagak karena kebebasan berpendapat di media sosial sehingga mereka memiliki kekuatan penuh untuk melakukan apapun yang mereka mau, tidak peduli dengan dampak, yang penting keinginan mereka tercapai.
Sehingga, hal ini menjadi salah satu membentuk standirasasi kehidupan orang-orang yang menggunakan media sosial. Hemat penulis menyimpulkan bahwa ketika ada sebuah argumen yang di setujui oleh banyak pihak tanpa melihat esensi dari argumen itu, maka itu merupakan standar hidup manusia yang harus di raih oleh seluruh lapisan masyarakat, kira-kira begitu.
Sangat miris, karena pada dasarnya jangan menjadikan media sosial ini menjadi satu-satunya cara untuk memberikan standirisasi yang paten terhadap kehidupan, bahkan sampai memaksa orang-orang untuk sependapat terhadap argument (liar) yang di sepakati bersama itu. Bila kita tidak cermat dalam menanggapi fenomena ini, maka bisa jadi kita akan merasa yang paling benar dan menjadi manusia "overpower".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H