Ketika mengunjungi teman-teman yang melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Desa Balongdowo Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegoro, ada yang menarik untuk saya bagikan. Terutama ketika saya berdiskusi dengan teman-teman mahasiswa dan petani di pematang sawah.
Cerita bermula ketika saya berdiskusi dengan teman-teman mahasiswa selepas maghrib (Sabtu 25 Januari) mengenai prioritas dari permasalahan yang ada di desa. Hasil survey mahasiswa menyimpulkan bahwa permasalahan para petani itu, pengairan. Diskusi berlanjut dan berkembang ketika salah seorang tokoh pemuda mengunjungi kediaman kepala desa yang juga posko teman-teman mahasiswa. Menurut Mas Imam, demikian nama pemuda tersebut, menceritakan bahwa era kepala desa saat ini air untuk kebutuhan sawah petani sudah tidak menjadi masalah lagi karena kepala desa berupaya untuk mengontrol pengaturan air yangada di waduk desa tetangga. Distribusi air dari waduk tersebut dapat mencapai areal persawahan yang ada di desa Balongdowo. Hanya saja, ada pertanyaan yang kritis dari mahasiswa bahwa sampai kapan penduduk desa Balongdowo ini selalu tergantung dengan waduk yang ada di desa tetangga, padahal di sekitar desa mereka semua desa telah memiliki waduk sendiri. Rupanya pengadaan waduk untuk areal persawahan petani merupakan program dari kabupaten. Hasil diskusi memunculkan bahwa waduk dapat dibangun di desa Balongdowo dengan syarat ada lahan untuk pembangunannya. Ketika saya menanyakan, mengapa desa tetangga bisa? Mas Imam selaku tokoh pemuda setempat mengatakan bahwa desa-desa tetangga bisa membangun waduk tersebut karena lahan yang dijadikan tempat membangun waduk itu tanah Negara. Sedangkan lahan yang ada di desa Balongdowo tanah petaninya telah menjadi hak milik. Akhirnya kita menyimpulkan dan sepakat bahwa air bukan merupakan masalah lagi bagi petani untuk saat ini dengan syarat, kepala desa selalu rajin mengontrol distribusi air dari waduk tetangga dan memberikan ‘suplemen’ kepada penjaga pintu air. Waduk dapat saja dibangun untuk mengurangi ketergantungan penduduk desa Balongdowo dengan syarat lahannya tersedia. Pengadaan lahan akan dibicarakan kemudian karena kebetulan bapak kepala desa sedang cuti ke luar pulau. Diskusipun berakhir pukul 11 malam.
Minggu pagi, diskusi dilanjutkan dengan beberapa orang mahasiswa masih seputar pengadaan waduk dan cara mengatasi hama. Sebenarnya cara mengatasi hama sebagai musuh petani sempat dibahas malam sebelumnya hanya saja tidak terlalu mendalam. Akan tetapi dari pembicaraan dengan Mas Imam, sebagai tokoh pemuda, obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi wereng dan hama lainnya tidak manjur. Saya menganjurkan untuk memeriksa obat-obatan karena bisa jadi palsu atau hamanya yang sudah kebal. Tentang palsu memalsu ini, tahu sendirilah…disinikan surganya heheheh..
Esok harinya, ketika waktu menunjukkan pukul 09.10 menit saya mengajak salah seorang mahasiswa untuk berjalan-jalan mengitari persawahan yang ada di utara desa. Ketika bertemu dengan dua orang petani yang sedang santai duduk di bawah rindangnya rumpun bambu, kamipun ikut ‘nimbrung’. Obrolan diawali ketika saya menunjuk saluran irigasi yang masih tampak baru. Ketika saya bertanya dengan Bapakf Slamet dan Bapak Eko (nama kedua petani tersebut), mereka menjelaskan bahwa saluran irigasi itu proyek pemerintah tahun 2013 yang dibangun sepanjang 500 meteran. Saya hanya mengangguk dan memperhatikan bentuk saluran yang menurut kacamata saya, ringkih.
Diskusi berlanjut ketika saya bertanya tentang hama apa yang biasanya menyerang tanaman mereka. Pak Slamet dengan sigap menjawab, hama tikus. Saya kemudian bertanya ketika ada hewan yang mereka sebut ‘gerangan’ (seperti sejenis musang) yang lewat di pematang sawah.
“Lha..bila hewan itu maem e nopo toh pak?”
“Lha niku gerangan, maem e nggeh tikus” jawab Pak Slamet
“Lha kalau begitukan mereka sahabat petani toh pak?”
“Iya, tapi biasanya kalau musim kemarau hewan-hewan itu diburu oleh orang luar yang datang dari Jombang dengan membawa anjing dan mobil pikap, kadang mereka dapat sampai puluhan sekali berburu”
“Trus, penduduk sini, gak ada yang melarang?” Tanya saya.
“Ya, tidak ada pak?”
“Oooo…” (saya bergumam)
“Selain tikus yang biasanya menyerang tanaman padi apa lagi pak?” saya melanjutkan bertanya.
“Biasanya ulat, pak?” jawab Pak Slamet yang aktif menjawab pertanyaan saya sedangkan Pak Eko hanya menyimak obrolan kami.
“Lha, kalau musuhnya ulat itu apa pak?”
“Ya, burung jalak uret pak?” (saya sendiri tidak tahu bentuk burung jalak uret ini, seperti istilah yang dilontarkan Pak Slamet).
“Trus sekarang burung jalak uretnya kemana?”
“Sudah habis pak diburu sama orang-orang juga?”
“Oooo..trus kalau wereng apa juga sering menyerang tanaman padi masyarakat disini?”
“Iya pak”
“Hewan musuh wereng itu apa pak?” saya bertanya kembali.
“Kalau wereng itu musuhnya burung dali pak?”
“Apa itu pak?”, tanya saya
“Itu burung sriti”.
“Ooo….”
Obrolan selanjutnya, kami mendiskusikan bagaimana seandainya hewan-hewan sahabat petani tersebut dilindungi dan dijaga populasinya agar terjadi keseimbangan rantai makanan dalam ekosistem. Bukannya tidak boleh diburu, boleh… tetapi bila memang populasinya sudah meledak atau tidak seimbang. Pak Slamet menyadari dan bercerita bahwa ketika dahulu ular-ular di sawah masih terjaga populasinya, burung hantu pun demikian, burung jalak uret dan burung dali juga, serta gerangan masih terjaga jumlahnya, hama-hama yang ada di sawah tidak seperti saat ini.
“Memang benar pak bahwa Tuhan itu menciptakan segala sesuatunya itu tidak sia-sia tetapi manusianya yang sudah tidak pandai menjaga ciptaan Tuhan ini sehingga akibatnya baru dirasakan sekarang. Ancen bener pak, biyen zaman Pak Harto, hewan-hewan tadi masih terpelihara jumlahnya tetapi sejak Pak Harto lengser petani sekarang susah pak”, curhat Pak Slamet.
“Bagaimana kalau Pak Slamet dan Pak Eko mengajak teman-temannya petani lainnya untuk membuat komitmen bersama menjaga keseimangan ekosistem yang ada di sini dan juga mengusulkan kepada kepala desa untuk mengeluarkan aturan untuk tidak memburu secara serampangan hewan-hewan sahabat petani ini?” tambah saya.
“Iya pak akan saya sampaikan nanti kepada teman-teman dan pak kepala desa” lanjutnya.
Karena sudah siang, saya pamit dan melanjutkan perjalanan menelusuri pematang sawah hanya sekedar untuk menikmati hijaunya hamparan padi yang sudah mulai menampakkan bulir-bulirnya. Siang itu saya dan teman mahasiswa, telah mendapatkan pelajaran dari kesadaran Pak Slamet dan Pak Eko bahwa memang hidup ini harus menjalin persahabatan dengan mahluk Tuhan lainnya. Menjaga kelestarian lingkungan dan menjaga ekosistem serta rantai makanannya akan mendatangkan manfaat bagi semua. Artinya, ternyata kita sebagai manusia itu tidak bisa hidup sendiri. Disamping itu perilaku menjaga kelestarian lingkungan merupakan wujud syukur kepadaNya.
Mudah-mudah bila memang para petani dan penduduk desa tersebut sadar, saya ingin melihat hasilnya satu tahun ke depan. Semoga….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H