“Pak lampune patenono, aku iki ngandani seng apik..engkuk perusahaanmu rugi lo..”.(Pak, lampunya matiin, saya ini ngasih tahu yang baik, nanti perusahaanmu rugi). Itulah kata-kata yang saya teriakkan ketika saya mampir sejenak di pos satpam sewaktu hendak mengantarkan anak saya berangkat sekolah ke terminal bayangan kecamatan. Teman saya yang sempat mengetahui saya berkata seperti itupun terkekeh-kekeh. Saya berani berkata seperti itu sembari bercanda karena saya mengenal semua anggota security di perumahan di tempat saya bermukim. Tetapi ada jawaban yang tidak saya duga muncul ketika saya meneriakkan hal tadi. Salah seorang anggota securitynya berkata,
“Aku mari dinas malem pak, sak iki tanggung jawab e seng dinas isuk”. (Saya habis dinas malam pak, sekarang tanggung jawabnya yang dinas pagi). Saya tidak menjawab dan saya tinggal pergi saja sambil tersenyum sendiri.
Peristiwa kecil pagi ini, membuat saya ingin menuliskannya di kompasiana. Tidak gampang memang membangun kesadaran apalagi kesadaran kolektif. Inipun sering saya buktikan ketika saya sehabis pulang mengantar anak ke terminal bayangan, saya sering mampir untuk mematikan lampu penerangan yang ‘mencuri’ atas inisiatif warga dan pengurus kampung yang memasang penerangan secara liar. Saya ingat betul di Blok-E itu walaupun matahari telah bersinar terang tuan rumah yang kebetulan di depan rumahnya ada lampu penerangan liar itu tanpa merasa bersalah hanya membiarkan saja lampu itu terus menyala. Saya terkadang heran. Sebetulnya tidak hanya di Blok E ada juga di blok-blok lain, tetapi bila itu saya lakukan maka habislah waktu saya tiap pagi untuk mematikan lampu-lampu penerangan liar ini heheheh.
Pernahkah kita membayangkan hidup tanpa listrik? Apa jadinya? Wong kadang lampu mati saja kita sering memaki-maki pada perusahaan milik negara yang menangani listrik. Sumpah serapah keluar dari mulut pelanggan dengan segala caciannya. “Listrik sudah bayar mahal, pelayanan masih seperti ini saja hah…jancuk!” (maaf pakai istilah pisuhan Surabaya). Kata-kata itu sering saya dengar.
Saya pribadi terkadang kasihan dengan Pak Dahlan Iskan, bagaimana tidak, harus diakui bahwa beliaukan mewarisi budaya kerja dari lembaga yang baru dimasukinya. Saya tidak kenal dekat tetapi saya banyak membaca hal-hal positif dari tulisan beliau disamping saya juga memiliki tetangga yang pernah bekerja dengan beliau yang menceritakan bagaimana sepak terjang beliau. Butuh waktu memang untuk membuktikan bahwa lembaga yang dipimpinnya ini menjadi seperti harapan masyarakat kebanyakan.
Yang menjadi pertanyaan saya, mengapa masyarakat kita tidak memiliki kesadaran kolektif yang tinggi? Apakah karena masyarakat kita kurang terdidik? Kurikulum pendidikannya yang keliru? Atau karena hukumnya yang pandang bulu?Menurut Mbah Durkheim yang sosiolog, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual, kesadaran akan norma-norma sosial yang kuat dan juga perilaku sosial yang diatur dengan rapi. Nah..yang diatur dengan rapi ini yang perlu digaris bawahi, berarti harus ada semacam konsensus atau kesepakatan bersama bahwa MATIKANLAH LAMPU dan PERALATAN ELKTRONIK LAINNYA BILA TIDAK DIGUNAKAN. Bisakah kesadarankolektif ini dibangun?
Masih cerita seputar listrik, saya sempat nguping pembicaraan ibu-ibu di ruang tunggu bandara SH ketika akan pulang ke Surabaya sehabis menengok emak di kampung. “Waduh jeng sekarang susah semenjak bapaknya pensiun, listrik harus bayar, air harus bayar berat rasanya apalagi kami masih tinggal di komplek”. Saya yang nguping cerita karena duduk berdekatan, jadi menduga-duga dialog ibu tadi, apa listrik dan air dirumahnya dibayariinstansi tempat suaminya bekerja atau mendapat fasilitas gratis atau bagaimana? Saya sendiri tidak ingin bertanya dan mencari tahu. Hanya.. dari obrolan yang panjang dari ibu-ibu tadi akhirnya saya tahu kalau suaminya dulu bekerja diinstansi bumn yang ternama.
Sebagai ilustrasi pembanding, Pak DI yang dirut listrik ini pernah menulis di koran bahwa di Korea masyarakatnya begitu memiliki kesadaran yang tinggi terhadap energi listrik. Bila tidak digunakan dimatikan. Disini, masih menurut beliau, lampu kamar mandi yang tidak sedang digunakan saja dibiarkan menyala berjam-jam. Saya sendiri heran mengapa ya? Sepertinya kita perlu belajar dari orang Korea atau merubah kurikulum dengan mata kuliah kesadaran kolektif. Atau memberikan sanksi yang tegas pada pelanggarnya, tidak pandang bulu.
Yang jelas saya pribadi sudah memikirkan bagaimana caranya menggunakan energy matahari untuk penerangan di malam hari. Mahal sih investasi peralatan di awal tetapi…kata rekomendasi yang telah menggunakan berdasarkan info di website, murah kemudian. Apakah anda juga telah memikirkan hal yang sama? Kalau belum yah tidak mengapa tetapi paling tidak tulisan saya ini akan menggugah kesadaran kolektif kita bahwa kita harus menghargai energy listrik, matikan bila tidak digunakan karena cara yang kita lakukan itu juga sebetulnya telah membantu perjuangan teman-teman dikelistrikan untuk menjadikan negeri ini bebas dari byar pet..byar pet dan tegangan yang tidak stabil pada saat beban puncak.
“Boyo..boyo..boyo..ayo Suroboyo. Suro iku wani boyo iku minggat”. (Ikan hiu itu berani buaya itu minggat jadi Suroboyo itu berani minggat heheheh). Teriakan kernet mikrolet itu telah membuyarkan lamunanku. Aku membatin pada anakku “Belajar yang rajin nak semoga cita-cita mu dikabulkanNya, jangan lupa bangun kesadaran (kolektif) dalam dirimuseperti yang sudah ayah ajarkan walau itu tidak ada dalam kurikulum sekolahmu”.
Apakah anda juga telah mengajari anak anda sejak dini tentang energy listrik? Ataukah juga tengah memikirkan energy alternative? Atau bahkan ingin membangun perusahaan yang menjual panel listrik energy matahari? Ah...listrik itu....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H