Mohon tunggu...
M Agung Laksono
M Agung Laksono Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa yang suka nulis, diskusi, pantai dan main instagram.

Sekretaris Bidang Media dan Propaganda DPP GMNI. Disc: Tulisan bersifat pribadi, kecuali ada keterangan dibagian bawah artikel.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

GMNI: Penerapan Marhaenisme dalam Pertanian: Jalan Menuju Kedaulatan Pangan Sejati

29 September 2023   21:33 Diperbarui: 29 September 2023   21:52 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedaulatan pangan adalah salah satu isu krusial yang perlu diatasi oleh setiap negara. Ini merupakan kondisi di mana sebuah negara memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan yang cukup bagi seluruh rakyatnya. Di Indonesia, kedaulatan pangan telah menjadi fokus perhatian yang serius, terutama karena negara ini sangat bergantung pada beras sebagai sumber karbohidrat utama. Namun, untuk benar-benar mencapai kedaulatan pangan, perlu adanya diversifikasi karbohidrat, kolaborasi antara pemerintah dan industri penggilingan, dan pemahaman bahwa food estate bukanlah solusi ketahanan pangan yang sesungguhnya.

Diversifikasi Karbohidrat

Salah satu langkah penting dalam mencapai kedaulatan pangan adalah dengan melakukan diversifikasi sumber karbohidrat. Indonesia memiliki berbagai sumber karbohidrat selain beras, seperti ubi jalar, singkong, dan sagu. Semua sumber karbohidrat ini berasal dari Indonesia dan memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan. Dengan memanfaatkan lebih banyak sumber pangan lokal ini, kita dapat mengurangi ketergantungan pada impor beras yang mahal dan rentan terhadap fluktuasi pasar internasional.

Data konsumsi beras selama beberapa tahun terakhir menunjukkan perubahan pola konsumsi di Indonesia. Pada tahun 2018, rata-rata konsumsi beras per kapita per minggu adalah sekitar 1,404 kg. Namun, pada tahun 2019, data menunjukkan peningkatan dalam konsumsi beras. Ini adalah tanda positif bahwa masyarakat mulai sadar akan pentingnya diversifikasi karbohidrat. Meskipun data untuk tahun 2021 belum tersedia, langkah-langkah seperti promosi makanan lokal yang kaya akan karbohidrat non-beras harus terus didorong.

Kolaborasi Pemerintah dan Industri Penggilingan

Masalah tengkulak, yang seringkali membeli hasil panen petani dengan harga yang sangat rendah, perlu ditangani secara serius. Tengkulak ini berperan penting dalam rantai pasokan pangan, dan jika tidak diatur dengan baik, petani akan terus menderita akibat harga jual yang tidak adil. Kolaborasi antara pemerintah dan perusahaan penggilingan beras bisa menjadi salah satu solusi. Pemerintah dapat mengatur harga minimum yang adil bagi petani dan memastikan bahwa tengkulak tidak mengeksploitasi petani.

Selain itu, penting juga untuk mendorong industri penggilingan beras untuk berinvestasi dalam teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi produksi. Dengan teknologi yang lebih modern, proses penggilingan dapat menjadi lebih efisien, sehingga biaya produksi bisa ditekan. Dengan cara ini, harga beras di pasar dapat lebih terjangkau bagi masyarakat, sementara petani masih bisa mendapatkan keuntungan yang layak.

Kegagalan Food Estate dan Kedaulatan Pangan

Program Food Estate yang diluncurkan pada tahun 2020 sebagai Proyek Strategis Nasional bertujuan untuk menjawab ancaman krisis pangan selama pandemi. Namun, evaluasi terhadap proyek ini menunjukkan berbagai kegagalan. Food Estate yang terletak di Sumatera Utara, Kalimantan, dan NTT telah menghadapi berbagai masalah.

Salah satu kegagalan yang mencolok adalah di Kalimantan Tengah, di mana lahan seluas 165.000 hektare yang sebelumnya adalah hutan lindung dan lahan gambut telah diubah menjadi lahan pertanian. Namun, setelah dua tahun, proyek ini tidak memberikan hasil yang diharapkan. Contohnya, daerah Gunung Mas mengalami kerusakan ekosistem yang signifikan akibat penggundulan hutan untuk ditanami singkong. Ini menunjukkan bahwa proyek Food Estate tidak hanya berdampak negatif pada lingkungan tetapi juga tidak efektif dalam mencapai tujuan ketahanan pangan.

Kegagalan program Food Estate bukanlah kejadian baru di Indonesia. Sebelumnya, program serupa, seperti Mega Rice Project di era Presiden Soeharto dan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, juga gagal mencapai tujuan yang diharapkan.

Solusi Marhaenisme dalam Persoalan Kedaulatan Pangan

Pendekatan yang lebih holistik dan berlandaskan pada prinsip Marhaenisme dapat menjadi solusi untuk masalah kedaulatan pangan di Indonesia. Marhaenisme, yang diperkenalkan oleh Presiden Sukarno, menekankan pentingnya kesejahteraan rakyat Indonesia, terutama para petani. Beberapa langkah yang dapat diambil dalam perspektif Marhaenisme adalah sebagai berikut:
1.Kesejahteraan Petani: Industri penggilingan beras dapat berkomitmen untuk membayar harga yang adil kepada petani dan berinvestasi dalam pelatihan petani untuk meningkatkan produktivitas mereka.
2.Penguatan Koperasi Petani: Koperasi petani dapat menjadi wadah untuk membantu petani mengatasi masalah tengkulak dan memperoleh akses ke pasar yang lebih baik. Pemerintah dapat memberikan dukungan finansial dan teknis untuk meningkatkan kapasitas koperasi-koperasi tersebut.
3.Pendidikan Petani: Meningkatkan pendidikan dan pelatihan petani dalam hal praktik pertanian yang modern dan berkelanjutan adalah langkah penting. Ini akan membantu mereka meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil panen mereka.
4.Promosi Makanan Lokal: Selain beras, pemerintah dapat menggalakkan promosi makanan lokal yang kaya akan karbohidrat non-beras, seperti ubi jalar, singkong, dan sagu. Ini dapat dilakukan melalui program edukasi masyarakat mengenai nilai gizi dan keberlanjutan pangan lokal.
5.Investasi dalam Infrastruktur Pertanian: Pemerintah perlu berinvestasi dalam infrastruktur pertanian, seperti irigasi, jalan, dan gudang penyimpanan, untuk memastikan petani memiliki akses yang lebih baik ke pasar dan fasilitas yang mendukung produksi pangan.
6.Kemitraan Lokal: Industri penggilingan beras dapat menjalin kemitraan dengan koperasi petani lokal, yang sejalan dengan prinsip Marhaenisme untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
7.Pemahaman Akan Kebutuhan Rakyat: Marhaenisme menekankan pemahaman yang kuat akan kebutuhan rakyat. Industri penggilingan beras dapat mendengarkan dan merespons keinginan konsumen untuk produk karbohidrat yang lebih beragam dan sehat.

Kesimpulan

Mencapai kedaulatan pangan bukanlah tugas yang mudah, dan Food Estate bukanlah solusi yang tepat untuk mencapainya. Diversifikasi sumber karbohidrat, kolaborasi antara pemerintah dan industri penggilingan, serta penerapan prinsip Marhaenisme dalam pembangunan pertanian adalah langkah-langkah yang lebih tepat menuju kedaulatan pangan yang sebenarnya. Hanya dengan upaya bersama dari semua pihak, kita dapat memastikan bahwa semua orang di Indonesia memiliki akses ke pangan yang cukup dan bergizi, sesuai dengan visi dan prinsip kemerdekaan yang dicanangkan oleh Presiden Sukarno.

Oleh: M Agung Laksono, pengurus DPP GMNI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun