Sebagai warga Indonesia yang lahir di Banten, penulis agak terkejut saat beberapa hari lalu mengetahui KSAD Jendral Dudung Abdurachman ternyata warga Serdang, Kabupaten Serang Banten. Tentu, sebagai orang ber-ktp Banten penulis amat bangga, ternyata jenderal yang sering dapet nyinyiran Jenderal Baliho ini satu kampung halaman, di Banten.
Bagi penulis, julukan Jendral Baliho bukanlah sesuatu yang memalukan, justru penulis optimis bahwa beberapa tahun kedepan Jendral Dudung akan kembali menuliskan sejarah, bahwa begitu setianya warga Banten pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Â
Sebagaimana sejarah nasional kita mencatat, ada empat tokoh pejuang dari Banten yakni Sultan Ageng Tirtayasa, Mr Syafrudin Prawiranegara, Brigjen KH Syam'un dan Raden Aria Wangsakara yang menjadi pahlawan nasional. Terbaru, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu 10 November 2021 menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh salahsatunya Raden Aria Wangsakara.
Komitmen dan kesetiaan warga Banten pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini tentu, memiliki latar belakang dan jejak historis panjang, bahkan sebelum Banten menjadi Provinsi. Terbukti, seperti kisah salah satu Pahlawan Nasional dari Banten dengan bukti akademis yang ada.
Dimana, saat awal kemerdekaan Republik Indonesia, di Banten berdiri lah Dewan Rakyat bernama Laskar Gulkut yang melakukan aksi teror. Gulkut bisa dikatakan persamaan kata dari 'gulung bukut', dimana mereka diisi oleh jawara dengan seragam hitam dengan lencana palu-arit di dada. Mereka juga menculik, bahkan membunuh siapa pun yang dianggap antek penjajah atau asing, seperti penculikan Bupati Hilman Jaya Diningrat. Bahkan, hal ini membuat Presiden dan Wakil Presiden, Sukarno dan Mohammad Hatta turun langsung ke Banten, pada 9 hingga 11 Desember 1945.
Menurut Cornell University Press, New York tulisan Audrey R Kahin, Mohammad Hatta berbicara bahwa pemerintahannya tak menghendaki "anarki" semacam itu. Saat itu tak seperti biasanya, Hatta berubah menjadi sosok yang tegas. Tak hanya itu, pada saat Soekarno tiba di Rangkasbitung pada 10 Desember 1945, Dewan Rakyat menculik bekas Bupati Lebak RT Hardiwinangun dan juga membunuhnya. Hal ini menyebabkan, konflik dengan Tentara tak dapat dihindarkan.
Menurut, Matia Madijah golongan kiri di Banten saat awal kemerdekaan Indonesia ingin bergerak merebut kekuasaan, TKR dibawah KH Syam'un dengan tegas mengambil tindakan menumpas gerakan Dewan Rakyat, sekalipun akibat tindakannya itu KH Syam'un bentrok dengan rekan seperjuangannya sendiri.
Namun, ia tak peduli, sebab menempatkan dirinya tidak di atas golongan ini atau golongan itu, melainkan di atas kepentingan nasional dan berjuang gigih mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan NKRI.
Dari cerita salah satu pahlawan nasional tersebut, bisa kita artikan bahwa segala bentuk gerakan ekstrimis yang menggerogoti bangunan kebhinekaan dan persatuan nasional harus dicegah. Sebab, sebagai negara yang memiliki keunikan dengan budaya dan bahasa paling beragam, hal ini harus dioptimalkan sebagai kekuatan, sebagai negara adidaya dalam kebudayaan. Jangan sampai gerakan ekstrimis ini menjadikan kebhinekaan bangsa, menjadi sebuah ancaman yang menggerogoti bangunan kebhinekaan, tempat kita bernaung bersama sembari mewujudkan mimpi bersama yakni, keadilan sosial.
Harus diakui Pilkada DKI Jakarta beberapa tahun yang lalu, sedikit merobek apa yang sudah dibangun oleh para pendiri bangsa. Cara-cara instan dan kotor seolah menggambarkan pikiran masyarakat awam seperti saya; politisi menjadi sekedar para binatang yang sedang berebut kuasa, bukan lagi untuk mencapai kebaikan bersama.