Oleh Muhamad Irfan
"Bagaimana mungkin terus diam. Saat tubuh terus bergerak mengikuti setiap alunan jiwa yang memberontak. Bukankah gerak merupakan salah satu cara untuk mengekspresikan dan mengungkapkan rasa. Lalu mengapa begitu banyak sentakan yang menganggap gerakan yang indah itu seolah negativ dan berdosa. Padahal jauh sebelum mereka berkata, orang-orang sebelum mereka juga melakukan hal yang sama. Mereka mengatakan hal ini, karena negeri Minangkabau yang penuh dialektika dan tenggang rasa. Kenapa harus malu menerima dan mengakuinya?"
Dua penari laki-laki menari mengenakan kain sarung---selimut tidur ketika mengawali pertunjukkan. Perlahan-lahan mereka bangun dan melenggok-lenggokan tubuh. Mereka memakai langkah-langkah silek di setiap gerakan. Kain sarung yang sebelumnya menjadi selimut ketika mereka tidur, digenggam di dua sisi oleh kedua tangan. Sekali gerakan tangan diayunkan, maka tangan yang satunya lagi akan mengikuti ayunan tersebut dan juga sebaliknya.
Tiupan saluang, gesekan rabab, pukulan canang, talempong, dan gandang katindiak, dan empat orang pendendang mengiringi setiap gerakan-gerakan penari. Persenggama anantara pemusik dan penari tersebut terlihat ketika gesture dan emosi penari menempel dengan alunan musik. Seolah terhanyut dibuai musik, begitupun juga musik.
Kemudian tiga penari perempuan memasuki panggung. Ada yang membawa bakul tempat letaknya pakaian yang kotor untuk dicuci, ada yang membawa panampih bareh(penampiberas), dan yang membawa piring. Kemudian mereka melakukan gerakan mereka masing-masing. Sebagaimana mestinya ketika perempuan mencuci di sungai, perempuan menampi beras untuk dimasak, dan perempuan menghidangkan makanan dengan menating piring.
Sementara peran dua penari laki-laki sebagai pagar di sisi kanan dan kiri panggung. Hal itu juga berhubungan dengan fungsi laki-laki di Minangkabau, hakikatnya menjaga nama baik perempuan dalam suatu kaumnya.
Pertunjukan diakhiri dengan penari laki-laki menari bersama penari perempuan. Langkah demi langkah dan gemulai tangan dan jemarinya mulai berliukan serentak. Begitupun juga dengan hentakkan kaki diiringi dengan dinamik musik. Kamis malam (21/11) di Galanggang Palito Nyalo Pauh Padang.
Babuhua Sentak adalah salah satu judul garapan yang ditampilkan oleh salah satu kelompok kesenian dari dua belas kelompok kesenian Sumatera Barat yang diundang dalam acara Festival Minangkabau yang memiliki branded sendiri, yaitu Pauh Bagalanggang. Festival tersebut diselenggarakan oleh sanggar Palito Nyalo dan berlangsung dari tanggal 21-23/11, di Galanggang Palito Nyalo, yaitu di depan sekretariatan Palito Nyalo itu sendiri.
"Babuhua Sentak merupakan ungkapan perasaan terhadap peran penari laki-laki yang merasa direndahkan dan dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang ada di lingkungannya. Sedangkan ketika mereka berada di atas panggung, mereka begitu bangga melestarikan kesenian tradisional tempat mereka dilahirkan---Minangkabau. Berbeda dengan perempuan Minangkabau ketika menari, hal ini dianggap lumrah dan biasa oleh lingkungannya. Namun hal semacam itu menjadi anakronis jika ditelaah kembali peran ideal perempuan Minangkabau sebagai limpapeh Rumah Gadang, sampai hari ini yang melekat dalam pikiran masyarakat jika mendengar kata penari, maka tokohnya adalah perempuan. Dalam Babuhua Sentak ini focus pada ketangkasan atau ketegasan gerak dan pitunggua yang ada pada beberapa tari tradisional Minangkabau---tari Rantak, tari Piring, dan tari Babuai. Babuhua Sentak dikemas dalam bentuk tradisi yang dipadukan dengan gerakan kontemporer." Kata Sufi Anugrah selaku koreografer dalam garapan.
Muhamad Irfan lahir di Pariaman, 26 September. Sedang menamatkan studi di jurusan Sastra Indonesia Unand. Bergiat di Bengkel Seni Tradisional Minangkabau (BSTM), Labor Penulisan Kreatif (LPK), dan Lab. Pauh9. Senang bersastra ria.