KPK menetapkan Bupati Kudus sebagai tersangka penerima suap jual beli jabatan. Jum'at (26/6) benar-benar menjadi Jum'at keramat bagi Bupati yang pernah merasakan jeruji besi pada kasus tipikor ini.Â
KPK seperti hendak menguatkan hipotesisnya: mantan napi korupsi berpotensi untuk korupsi lagi. Hal ini setidaknya dinyatakan Basaria Panjaitan,Pimpinan KPK dalam konferensi persnya beberapa waktu lalu, di mana KPK pernah menyampaikan untuk melarang para mantan terpidana korupsi dalam kontestasi politik, khusunya pemilukada.
Muhammad Tamzil yang pernah menjabat sebagai Bupati Kudus 2003-2008 ini terpilih dalam hajatan Pilkada serentak 2018 kemarin.Â
Meskipun memilili rekam jejak sebagai mantan nara pidana korupsi, hal ini tidak menggoyahkan elektabilitas, rakyat tetap memilihnya kembali.Â
Ditetapkannya Tamzil sebagai tersangka KPK sebenarnya sangat menampar masyarakat Kudus yang telah memenangkannya dengan jumlah suara 42,51 persen, mengalahkan tiga pasang kontestan lainnya.
Tertangkapnya eks koruptor belakangan memunculkan wacana baru, Â mulai dari penegasan larangan eks napi koruptor untuk ikut dalam pilkada, sampai pada hukuman mati bagi residivis koruptor yang terjerat kasus korupsi lagi.Â
Beberapa aktifis anti korupsi bahkan menyalahkan KPU dan Bawaslu yang telah meloloskan para eks koruptor untuk maju lagi dalam kontestasi dekokrasi, dengan kualifikasi yang sangat ringan, yakni hanya mengabarkan bahwa dia pernah terlibat korupsi.Â
Apapun itu, yang jelas peristiwa ini kiranya menjadi momentum untuk mengurai benang kusut antara kontestasi demokrasi dengan praktik korupsi.
Lingkaran Setan Demokrasi-Korupsi
Dalam wacana demokrasi modern, demokrasi dan korupsi menjadi dua entitas yang berjalin-kelindan dengan pengikat kapitalisasi liberal.Â
Kontestasi demokrasi saat ini hampir bisa dikatakan tidak mungkin nir-biaya, kontestasi meniscayakan biaya tinggi. Hal inilah yang kemudian mengundang praktek kapitalisasi oleh para pemodal.Â