Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengawal Kampanye Damai

9 Oktober 2018   07:02 Diperbarui: 10 Oktober 2018   04:58 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merpati perdamaian sudah diterbangkan, yang menandai masa kampanye pemilu 2019 dimulai. Secara normatif, para elit yang akan berkontestasi dalam pesta demokrasi lima tahunan menyepakai adanya kampanye damai. Kampanye, sebagai media sosialisasi dan persuasi politik, menjadi ajang multi pertarungan dari para kontestan. Ibarat pasar, di masa kampanye ini kita akan disuguhi berbagai iklan, pemasaran, ajakan, janji, bahkan "diskon" supaya kita mau membeli "produk" yang ditawarkan.

Dalam persaingan, untuk mendapatkan simpati, terkadang mengunggulkan merek saja tidak cukup. Terkadang perlu meremehkan, bahkan "membunuh" merek lain supaya merek sendiri terasa unggul. Dalam masa kampanye nanti, kita akan menghadapi berbagai upaya mencitrakan orang atau lawan politik itu jelek, salah dan tidak berkualitas. Inilah yang kita sebut sebagai kampanye hitam atau black campaign. 

Aroma kampanye hitam sebenarnya sudah lama menghiasi arena kontestasi politik kita. Saling nista antar capres cawapres, antar parpol, antar kandidat, bahkan kandidat separtai dan sedapil menjadi suguhan rutin yang akan mewarnai kehidupan kita, setidaknya di dunia maya. Dan ini adalah tantangan kita sebagai pemilih dan aparatur Pemilu untuk cerdas dan bijak dalam menyikapinya.

Ada beberapa hal yang perlu kita sikapi, terkait dalam masa kampanye ini. Pertama, Kita harus memahami kampanye sebagai media pemasaran. Namanya pemasaran, selalu menampilkan citra, ekspektasi dan komitmen yang baik-baik saja. Sehingga perlu sikap yang cerdas dalam memilih. Memilih figur yang akan memimpin bangsa diperlukan analisis dan kejelian. Kita perlu melihat rekam jejak, visi misi, kinerja empiris, partai afiliasi atau pengusung, serta dukungan stake holder yang bermain di baliknya. Upaya ini tentunya tidak mudah, namun dengan menganalisi berbagai piranti pendukung -- apalagi di era informasi saat ini -- hal tersebut tentunya tidak mustahil untuk dilakukan.

Kedua, Pemilu adalah sebuah kontestasi para elit politik, sehingga tidak perlu patronase dan fanatisme yang berlebihan. Partisipasi pemilih memang bagian dari pilar demokrasi, namun tidak harus terlalu "baper" dalam menyikapi kontestasi politik. 

Jika para elit saling bertengkar, beradu cacian, maka kita sebagai pemilih cukup menontonnya saja. Dan momentum pertengkaran para elit adalah ajang untuk menilai, sikap, perilaku dan karakter para elit. Sampai sini, konstituen tidak perlu terlibat dalam kegaduhan yang (sengaja) diciptakan oleh elit.

Ketiga, sebenarnya kegaduhan politik hanyalah ada di dunia maya, dunia nyata senantiasa adem ayem. Dalam pandangan teori dramaturgi, media sosial hanyalah panggung depan (front stage). Seberapa gaduh dan keruh media sosial, tidak lebih hanyalah akting para pemerannya. 

Di media sosial, mereka berperan sebagai buzzer, destroyer, pembuli, namun semuanya hanyalah peran, mereka akan tetap ramah di dunia nyata. Sehingga, perbedahan pilihan politik, rivalitas politik yang membuat ramai, riuh dan gaduh di dunia maya, tidak kemudian kita bawa di dunia nyata. Persaudaraan, pertemanan silaturahim tetaplah berjalan apa adanya.

Keempat, perlu netralitas penyelenggara pemilu dan aparatur yang terkait. KPU dan Panwas harus berupaya obyektif dan profesional dalam proses penyelenggaraan Pemilu. Kecurangan sekecil apapun yang dilakukan oleh penyelenggara akan menjadi pemantik dan celah kegaduhan. 

Harus diakui, ada beberapa kasus kecurangan yang melibatkan penyelenggara Pemilu, dengan cara "main mata" atau sekedar politik transaksional para "oknum" penyelenggara. Hal ini tentunya menjadi tantangan dalam penyelenggaraan Pemilu, apalagi dalam panggung 2019 ini pihak petahana masuk dalam pusaran kontestasi.

 Selanjutnya kampanye damai meniscayakan semua pihak untuk bersikap dingin (cooling down), tidak mudah terbakar oleh gesekan-gesekan sekecil apapun. Kita sudah melaksanakan proses demokrasi ini secara rutin lima tahunan. Dan sepanjang itu pula, kita mampu menghadirkan proses demokrasi yang damai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun