Hiruk pikuk pesta demokrasi Daerah (Pilkada) sudah mulai mereda, mengingat saat ini sedang memasuki masa tenang. Meskipun gemanya akan terus berlanjut, namun setidaknya segala atribut pemilu yang beberapa bulan terakhir ini menghiasi ruang publik masyarakat sudah mulai "bersih" dari pandangan kita. Namanya pesta, tentunya banyak konsekuensi yang terjadi sesudahnya.Â
Mulai dari kisruh perhitungan hasil suara, penat para penyelenggara pemilu, sakit, hingga pada fenomena frustasi dan stress para calon dan pendukungnya yang gagal mendapatkan kursi pemenang. Semua ini adalah efek riil dari sebuah pesta dan kontestasi, ada yang menang ada yang kalah, ada yang bahagia ada yang merana.
Padahal, pesta berikutnya juga akan menanti, Pilihan legislatif, Pilihan Presiden serta pilihan kepada daerah yang lain. Tentu saja hal ini sejatinya bukan hajat rakyat, namun lebih merupakan hajat partai-partai yang harus bertarung lagi. Berbagai strategi dan spekulasi menggejala untuk memenangkan kontestasi, memenangkan para wakil rakyat dan presiden, penguasa bangsa dan Negara ini.
Dalam kampanye, para calon berlomba-lomba menarik perhatian konstituen untuk dikonversi menjadi suara. Dan cara yang paling efektif dalam menarik perhatian tersebut adalah melalui janji ideal yang akan dilaksanakan ketika terpilih menjadi kepala daerah.Â
Janji politik yang kemudian menjadi tagline berbagai iklan kampanye, mulai spanduk, baliho sampai pada iklan di TV merupakan "jualan" yang ditawarkan kepada para "pembeli" bernama rakyat. Melalui janji politik inilah mereka mencitrakan diri sebagai sosok yang baik dan ideal yang sekiranya pantas untuk menjadi sosok pemimpin.Â
Berbagai karakter ideal, seperti jujur, amanah, tanggung jawab, ora ngapusi, ora korupsi menjadi "rayuan syurga" yang mencoba menghipnotis para pemilih. Meskipun sebagian pemilih tidak begitu saja percaya terhadap janji manis tersebut, namun setidaknya janji tersebut adalah jaminan kualitas yang menjadi garansi ketika terpilih.
Seiring berjalannya waktu, janji politik yang digembar-gemborkan saat kampanye pun memudar bersama pudarnya hingar bingar pesta demokrasi. Para anggota legislatif nantinya akan disibukkan dengan berbagai tugas dan kinerjanya, termasuk sibuk dengan kepentingannya. Janji tinggal janji. Semua hal baik yang ditawarkan saat kampanye hanya kalimat normatif penghias pemilu.Â
Rakyat yang diwakili hanyalah pengatasnamaan untuk memuluskan kepentingan pribadi dan golongan. Mereka tiba-tiba hilang ingatan akan semua janji dan kata manis yang pernah dinyatakan saat kampanye.Â
Ironisnya, gejala ini bukan hanya fenomena individual, namun sebuah kolektifitas yang sistemik, apapun partainya, darimanapun mereka, jika sudah duduk di kursi empuk kepala daerah maupun Dewa(n), serta merta menjadi orang yang obsesif kuasa dan kaya.
 Dan jika dirunut lebih dalam, gejala ini sebenarnya sesuatu yang simultan. Artinya tidak hanya wakil rakyat saja yang tidak merasa berjanji, rakyat yang telah memilihnyapun tidak merasa dijanjikan.Â
Karena keduanya telah terjerembab dalam akad jual beli berbungkus money politik. Sehingga interaksi politik sudah tergeser menjadi transaksi bisnis.Â