Max Webber (1958) dalam sebuah risetnya pernah menyimpulkan bahwa salah satu faktor utama penyebab munculnya semangat kapitalisme adalah apa yang ia sebut dengan etika protestan. Etika protestan ini merupakan dogma agama yang mampu menjadi pemacu untuk melakukan kapitalisasi ekonomi. Sehingga Webber memberikan komparasi sederhana antara orang Katolik dan orang Protestan.Â
Menurutnya, orientasi orang katolik itu bisa disederhanakan dengan istilah "tidur nyenyak". Sedangkan orientasi Protestan digambarkan dengan ungkapan "makan enak".
Spirit makan enak inilah yang kemudian memotivasi orang untuk kaya dan mengumpulkan banyak uang. Hal ini secara sistemik melahirkan kecenderungan kapitalis. Dan dalam sejarah, kapitalisme terbukti telah melahirkan kolonialisme dan imperialisme, di mana orang akan memburu kapital sampai ke ujung dunia, yang akhirnya menyebabkan terjadinya penjajahan dan eksploitasi.
Saat ini, boleh jadi kapitalisme merupakan ideologi "pemenang" yang hampir dominan dalam semua Negara di dunia ini. Hegemoni kapitalisme ini juga bisa kita rasakan pada sistem ekonomi di Indonesia. Meskipun secara ideologi dan konstitusi kita menolak adanya kapitalisasi ekonomi, namun pada kenyataanya kita mempraktekkan prinsip kapitalisme tersebut.
Islam sebagai agama yang sempurna, mencakup semua aspek kehidupan yang terkait dalam kehidupan ummatnya. Dalam hal ini, ekonomi adalah bagian dari aspek yang senantiasa bersinggungan dengan kehidupan manusia. Sehingga secara universal, Islam membangun semangat etik yang menjadi dasar dalam berekonomi. Jika Protestan mempunyai spirit kapitalisme, maka bagaimana denga Islam?
Ada beberapa pandangan tentang sistem ekonomi yang dibangun oleh spirit Islam. Kecenderungan ini kemudian kita sebut sebagai spirit etik ekonomi Islam. Pertama, Islam pada dasarnya mensyaratkan umatnya untuk kuat secara ekonomi. Hal ini didasari oleh beberapa ajaran Islam yang secara mutlak mensyaratkan umatnya untuk mempunyai uang. Secara umum, konsep zakat dan haji adalah dua rukun Islam yang meniscayakan ummat Islam haruslah kaya. Sehingga, kesempurnaan berislam hanya akan tercapai apabila ummat Islam itu mampu secara ekonomi.
Kedua, Islam menghendaki ummatnya untuk kaya, namun dengan kadar ketentuan tertentu. Artinya, Islam bukanlah kapitalisme yang menganjurkan umatnya untuk kaya sekaya-kayanya, atau miskin semiskin-miskinnya. Islam juga bukan sosialisme yang membatasi kepemilikan pribadi. Namun Islam  menghendaki distribusi kekayaan dan ekonomi yang adil.Â
Kapital dan kekayaan itu tidak boleh berkutat pada sekolompak orang saja, sementara lainnya sangat kekurangan. Hal ini oleh Islam dijembatani melalui konsepsi zakat. Zakat secara sosial adalah upaya melakukan distribusi kekayaan secara adil dan merata. Sehingga ketika orang semakin kaya, semakin banyak pula harta yang akan didistribusikan kepada orang yang membutuhkan.
Ketiga, Islam mampu menjadi spirit dalam kegiatan ekonomi. Beberapa permasalahan yang terjadi dalam sistem kapitalisme selama ini adalah adanya nalar koruptif yang menghinggapi para pelaku ekonomi. Akibatnya, orang secara bebas bisa merampas kapital dengan jalan yang tidak sah. Pada titik tertentu, akan menyebabkan krisis dan depresi ekonomi.Â
Nah, spirit etik Islam dalam hal ini diharapkan mampu memberi bekal bagi para pelaku ekonomi untuk selalu melakukan kegiatan ekonomi dengan benar. Prinsip seperti kejujuran, keadilan, keberkahan, kemanfaatan dan sebagainya akan menuntun dan membimbing menuju prilaku ekonomi yang baik. Jika hal ini mampu dibangun dalam karakter muslim dalam melakukan kegiatan ekonomi, maka equilibrium ekonomi yang adil akan mampu tercapai.
Akhirnya, ekonomi Islam akan mampu membangun keadilan ekonomi bukan saja dari sistemnya, namun juga melalui para pelaku ekonomi yang mempunyai spirit etik Islam. Dan hal ini tentunya harus dimulai dari penanaman nalar etik Islam tersebut ke dalam jiwa generasi muda muslim. Pada dasarnya Islam tidak melarang ummatnya untuk tidur nyenyak dan makan enak. Namun semua itu harus dalam kerangka prinsip halalal thoyyiba, halal dan baik.