Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kohesi Sosial Lebaran

16 Juni 2018   07:39 Diperbarui: 16 Juni 2018   07:51 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti biasanya, lebaran selalu menjadi magnet utama ruang komunikasi massa. Gegap gempita lebaran selalu menghiasi setiap rongga masyarakat di negeri ini. Idul fitri, dengan berbagai corak dan varian tradisi yang ada di setiap jenis masyarakat menambah hazanah akulturasi budaya-agama yang berjalin kelindan.

Jaman boleh berganti. Teknologi bisa jadi melahirkan berbagai peradaban canggih yang memudahkan kerja dan kebutuhan manusia. Bahkan teknologi terbukti telah mampu mehilangkan batas ruang yang selama ini "membungkus" ruang mengada manusia. 

Era komunikasi telah menunjukkan kehebatannya, mengkomunikasikan antar manusia dalam jarak dan entitas ruang yang berbeda, dengan menghadirkan suara dan gambar yang live. Sehingga orang bisa berbicara dengan kerabatnya dalam jarak ribuan kilometer, dengan tetap bisa bertatap muka secara langsung melalui vasilitas internet.

Namun tradisi lebaran rasanya meruntuhkan kecanggihan teknologi tersebut. ruang waktu bisa jadi dihubungkan oleh teknologi, namun dimensi intuitif-sosial manusia tampaknya tidak bisa diselesaikan oleh teknologi. 

Tradisi mudik misalnya, adalah bukti bahwa persinggungan secara langsung antar manusia masih tetap dibutuhkan, melalui face to face dan persentuhan langsung antar entitas. 

Tingginya volume orang untuk mudik menandakan bahwa orang masih membutuhkan persinggungan langsung dengan kerabat dan keluarga, dalam bungkus hari raya idul fitri. Sampai sini media komunikasi elektronik tidak cukup menjadi "solusi" dalam membangun komunikasi saling maaf-memaafkan. Kohesi atau kerekatan sosial antar manusia tampaknya masih menjadi kebutuhan dasar manusia, melalui sandaran religius dan tradisi.

Meneguhkan halal bihalal

Terminologi halal-bihalal merupakan istilah khas indonesia. Meskipun berasal dari bahasa arab, istilah halal bihalal tidak begitu dikenal dalam tradisi arab.  Istilah ini merupakan istilah yang diciptakan oleh orang Indonesia, untuk memudahkan sebuah interaksi sosial. Halal bihalal secara mudah bisa diartikan sebagai proses saling menghalalkan, menukar yang halal dengan yang halal pula. Artinya ketika seseorang berdosa dengan orang lain, melalui maaf, dosa itu menjadi halal (terhapus).

Dalam kultur nusantara, halal bihalal kemudian melembaga menjadi sebuah tradisi memaafkan saat lebaran. Kesucian idul fitri, di mana dosa kita kepada Allah terhapus melalu ramadhan, harus disempurnakan melalui penghalalan dosa kepada orang lain. Sehingga dua jalur eksistensi manusia, vertikal melalui hablum minallah (hubungan dengan Allah) dan horisontal melalui hablum minannas (hubungan dengan sesama manusia) akan mampu dilakukan secara sempurna. Dan dosa antar manusia hanya bisa dihapus hanya dengan keridhoan (halal) dari orang yang bersangkutan. Sehingga halal bihalal pada dasarnya adalah penyempunaan idul fitri dari jalur horisontal.

Tradisi halal bihalal yang sudah mengakar ini rasanya menjadi indikator dalam pencapaian kohesi sosial. Masyarakat yang majemuk dan plural harus dikomunikasikan dengan adanya saling memaafkan. Orang yang sudah memaafkan, akan meminimalisir adanya singgungan dan konflik sosial. Halal bihalal adalah tradisi yang menyatukan, rekonsiliasi sosial yang berjalan secara masif hampir di semua kalangan.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun