Ketika para sahabat mengadakan musyawarah di saqifah (aula) Bani Saidah sepeninggal Rasulullah SAW, maka Abu Bakar mengusulkan untuk memilih Umar bin Khattab sebagai khalifah. Usulan ini serta merta ditolak oleh sahabat Umar.
Bahkan Umar balik menganggap Abu Bakarlah yang pantas menjadi Khalifah menggantikan Rasulullah, dengan perkataannya yang terkenal, "Tidak, tidak mungkin saya diangkat sebagai pemimpin satu kaum sedang dalam kaum itu ada engkau."
Kisah di atas kiranya menjadi i'tibar bagi kita, dalam konteks dinamika kontestasi Politik di tahun politik saat ini. Mencermati gaya persaingan antar kontestan, baik itu pada kontestasi pilkada, Pileg, maupun Pilpres yang sangat ketat, maka ada semacam kontradiksi bagaimana karakter Calon pemimpin kita saat ini dengan konteks para Khulafa' al-rasyidin.
Jika para sahabat saling "emoh" ketika diangkat menjadi pemimpin, maka saat ini para politisi kita berebut untuk mau, bahkan dengan ngotot dan menghalalkan segala cara. Betapa kita lihat, setiap hari media berlomba-lomba menayangkan hujatan-cacian terhadap kubu politik yang dianggap berseberangan.
Padahal, kita dikenal sebagai bangsa yang santun, tepo sliro dan beradab. Budaya keadaban kita tiba-tiba tergeser habis oleh ambisi politik, sehingga nilai adiluhung kesantunan tersebut pudar dan terkikis.
Untuk memenangkan kepentingan politik, masyarakat sudah mulai menghalalkan segala cara, membabi buta dan tidak memperdulikan lagi kaidah kesantunan. Kampanye hitam dan saling hujat menjadi sarapan dan makanan sehari-hari masyarakat kita, yang dipropagandakan melalui media massa maupun media sosial.
Sampai derajat ini, fatsun politik, yang selama ini diasumsikan mampu membentengi cara berpolitik santun bangsa kita, sudah mulai memudar. Nalar santun para politisi kita, sudah mulai tergantikan dengan apa yang disebut nalar Machiavellian, nalar menghalalkan segala cara demi merebut kekuasaan. Politik santun yang seharusnya menjadi platform berolitik bangsa Timur, sudah mulai ditinggalkan karena dinilai akan merugikan kepentingannya.
Demokrasi dan Politik santun
Demokrasi merupakan konsensus bangsa dan menjadi pilihan bagi sistem pemerintahan di Indonesia. Kendati bukan merupakan sistem yang tanpa cela, namun demokrasi dianggap memiliki keutamaan yang mampu mewujudkan cita-cita dalam bernegara.
Mengutip pernyataan Winston Churchill, mantan Perdana Menteri Inggris, bahwa demokrasi bukanlah sistem perintahan yang baik, namun sistem pemerintahan lainnya lebih buruk. Artinya, sistem demokrasi meniscayakan adanya perbaikan dan inovasi untuk mempu menambal dan menutupi celah kekurangan yang ada.
Demokrasi yang ideal di antaranya mempunyai cirri sebagai berikut (Rahmat, 2003). Pertama, partisipasi politik yang luas. Partisipasi politik merupakan prasyarat bagi demokrasi. Kerangka berpikirnya adalah one man one vote, satu orang satu suara, sehingga suara setiap warga Negara menentukan produk demokrasi.