Meskipun demokrasi tidak begitu terpengaruh dengan fenomena golput, namun bagaimanapun golput menjadi parameter seberapa besar partisipasi dalam demokrasi.
Kedua, adanya kompetisi yang sehat. Inilah yang kiranya relevan dengan konteks demokrasi di Indonesia saat ini. Kampanye hitam yang akhir-akhir ini menguat dan dilakukan oleh masing-masing kubu politik menjadi indikator kompetisi demokrasi yang tidak sehat.
Ketiga, adanya sirkulasi kekuasan secara berkala. Di Indonesia, sirkulasi kekuasaan ini terjadi lima tahun sekali, itupun jabatan Presiden dibatasi dua kali periode. Sehingga sirkulasi kekuasaan sangatlah normal.
Keempat, adanya pengawasan kekuasaan yang efektif. Hal ini kiranya juga menjadi problem. Mengingat, ketiga pilar demokrasi, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif akhir-akhir ini terlibat dan penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Ditambah pilar keempat demokrasi, yakni pers, akhir-akhir ini juga diintervensi oleh kepentingan politik, sehingga cenderung tidak netral.
Kelima, adanya tata-krama politik atau fatsun politik. Yang terakhir ini kiranya relevan untuk menjadi perhatian kita bersama. Demokrasi tidak boleh dilakukan secara barbarian dan vandal.
Demokrasi harus memenuhi sistem tata-krama dan fatsun politik. Sehingga produk yang dihasilkan oleh sebuah sistem demokrasi itu membumi, relevan dengan tata nilai bangsa yang ada. Proses berpolitik yang meninggalkan fatsun politik, kiranya merupakan manifestasi vandalisme yang hanya akan menggerogoti nilai demokrasi kita.
Kita berharap, semoga fenomena kampanye hitam dan saling hujat antar kepentingan politik yang belakangan ini marak, hanya merupakan luapan "nafsu' politik sesaat. Demokrasi bukanlah tujuan, ia sekedar cara untuk mencapai tujuan bernegara. Mari berdemokrasi secara santun!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H