Sudah empat belas abad lebih agama Islam lahir, dan selama itu pula dinamika keberagamaan yang mengitarinya berjalan dinamis. Perjalanan sejarah telah menorehkan berbagai model dan pola beragama ummat Islam. Model  tersebut tentunya beragam, sejalan dengan kondisi ruang waktu yang mengitarinya. Model beragama ummat Islam di Arab, tentunya berbeda dengan yang ada di Indonesia, demikian pula di Amerika, Eropa maupun dan belahan dunia lainnya.
Agama Islam telah mampu beradaptasi dan beralkulturasi dengan tradisi dan budaya lokal. Di indonesia misalnya, banyak persilangan tradisi dan budaya pribumi yang kemudian menghasilkan tradisi baru yang Islami. Selama berabad-abad lamanya, Islam di Nusantara telah menghadirkan keberagamaan yang mengandung kearifan setempat. Namun belakangan, terjadi polarisasi model keberagamaan Islam. Fundamentalisme Islam yang kemudian memunculkan benih-benih radikalisme, formalisme sampai pada terorisme menjadi varian tersendiri dalam lingkup model beragama ini.
Setidaknya ada tiga isu yag saat ini menjadi fenomena gerakan Islam, yakni radikalisme, formalisme dan terorisme. Jika radikalisme terindikasi melalui kelompok-kelompok muslim radikal dengan pola amar ma'ruf nahi munkar, maka formalisme Islam bermaksud mendirikan negara Islam, atau setidaknya menegakkan syariat Islam secara formal. Sedangkan terorisme tampak melalui gerakan-gerakan bom dengan dalih Jihad. Ketiga varian ini, mendasarkan gerakannya pada ajaran Islam, meskipun terkadang terlalu naif.
Pasca Reformasi, gerakan radikalisme bersumbu agama marak bermunculan. Dengan dalih amar ma'ruf nahi mungkar, kelompok ini melawan berbagai hal yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Razia terhadap club malam, tempat prostitusi, perjudian, sampai pada warung makan pada bulan ramadhan adalah diantara sederet modus gerakan ini. Bahkan mereka juga tidak segan untuk "memerangi" aliran agama yang mereka anggap sesat. Pada kasus tertentu, perusakan dan pembakaran terhadap masjid boleh jadi mereka anggap sebagai nahi mungkar yang mulia.
Tak heran, ketakutan atau pobhia terhadap Islam kemudian muncul. Islam ditampakkan sebagai kelompok berjubah putih, pembawa pedang yang siap perang. Sehingga pada titik ini, Islam tak lebih adalah manifestasi sekelompok ummat yang marah. Keramahan Islam yang selama ini terjalan selama berabad-abad lamanya seakan terhapus oleh kemarahan segelintor orang yang mengatas namakan pembela Islam.
Di sisi lain, ada kelompok-kelompok yang berusaha mendirikan negara Islam di dalam negara. Fenomena NII -- dan juga HTI - setidaknya menjadi representasi dari motif ini. Kekecewaan terhadap bentuk negara yang "tidak Islami" menjadi pemantik gerakan ini. Secara historis, modus gerakan ini sudah muncul pada masa-masa awal negara ini lahir. Kekecewaan terhadap perubahan Piagam Jakarta, yang sebelumnya mencantumkan syariat Islam menjadi agar gerakan formalisme ini. Pada masa orde lama dan orde baru, gerakan sempat tiarap lama, meskipun tidak bisa dikatakan mati. Ketika kran reformasi dibuka, gerakan ini kembali muncul kepermukaan, dengan modus dan bentuk yang berkembang.
Beragama dengan bijak
Keberagaman cara beragama ummat Islam adalah satu hal yang tak terbantahkan. Cara beragama ini berbeda, dikarenakan perbedaan cara pandang dan pemahaman terhadap Islam. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak boleh menyimpang dari misi risalah Islam. Sebagamana telah mafhum bersama bahwa Islam diturunkan ke dunia ini tidak lain adalah untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Sehingga cara beragama yang beragam tersebut, harus senantiasa berorientasi pada misi risalah Islam tersebut.
Misi risalah Islam dalam hal ini merupakan tujuan disyariatkannya ajaran Islam atau maqashid al --syari'ah. Menurut Syatibi, tujuan syariat setidaknya harus berorientasi pada lima hal, yakni menjadi agama (hifdhu al-din), menjaga jiwa (hifdhu al nafs), menjaga akal (hifdhu al-aql), menjaga harta (hifdhu al-mal) dan menjaga keturunan (hifdhu al-nasl). Lima hal ini adalah dasar diberlakukannya ajaran Islam.
Jika aksi teror atas nama jihad ini kita masukkan sebagai prilaku beragama, maka prilaku tersebut harus kita ukur dengan misi risalah Islam melalui maqashid al-syariah tersebut. Secara awam, aksi bom jihad boleh jadi akan mampu menjaga agama Islam. Kerangka pikir yang terbangun adalah, karena orang--orang barat khusunya Amerika melakukan agresi ke negara-negara Islam, serta adanya penjajahan terhadap Indonesia melalui budaya dan informasi, sebagaimana yang sering di dengungkan mereka. Namun hal ini jelas akan menjadikan "dasar" yang lain menjadi tidak terpenuhi.Â
Aksi bom jelas telah menghancurkan jiwa, harta, akal dan juga keturunan. Sehingga jelas sudah, bahwa aksi tersebut jauh dari misi risalah Islam yang rahmatan li al-alamin.