Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dosen Tanpa Gelar

8 Mei 2018   11:39 Diperbarui: 8 Mei 2018   11:49 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://ifeel.edu.in

Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Meristek) beberapa waktu lalu menegaskan bahwa dosen tidak harus bergelar master (S2) dan doktor (S3). Menurutnya, mereka yang mempunyai kualifikasi sarjana (S1) atau Diploma (D4) bisa menjadi dosen, ketika didukung oleh kompetensi tertentu. Padahal dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan secara jelas bahwa dosen haruslah memiliki kualifikasi akademik minimal S2 dan S3 (pasal 46). Namun dalam Peraturan presiden (Perpres) nomor 8/2012 juga dijelaskan bahwa ada kerangka kualifikasi yang bisa menyejajarkan kemampuan seseorang dengan kualifikasi akademiknya.

Memperdebatkan guru atau dosen pada kualifikasi gelar akademik kiranya sesuatu yang kurang produktif. Dan sejak awal, pengaturan guru dan dosen dengan gelar akademik tertentu menjadi sebuah kebijakan yang artifisial, bukan substantif. Kita tentu masih ingat, bagaimana sertifikasi efek yang terjadi pada kebijakan sertifikasi guru beberapa tahun yang lalu. Guru yang belum bergelar S1 berlomba-lomba untuk kuliah lagi, yang seringkali kurang mempertimbangkan hakekat kuliah dan gelar sarjana tersebut. Jika boleh menyimpulkan, kebijakan sertifikasi guru lebih sebagai upaya "peningkatan kesejahteraan" ketimbang peningkatan kompetensi guru.

Dosen tanpa gelar, kiranya bukanlah sebuah persoalan yang krusial dalam dinamika pendidikan kita. Secara filosofis, guru maupun dosen bukanlah orang dengan sandang gelar yang tinggi. Guru adalah pribadi linuwih, yang mau mengabdikan ilmunya untuk orang lain. Sehingga bukan gelar yang penting, namun motivasi dan karakter diri yang akan mampu melakukan pembelajaran secara efektif. 

Sehingga filsafat jawa mengatakan bahwa Guru itu digugu dan ditiru, mampu dipercaya dan diteladani. Meskipun hal ini memang sudah diatur dalam Undang-undang sebagai kompetensi pribadi dan sosial, namun hal ini sangat sulit mengukurnya.

Itulah mengapa dalam sistem pendidikan tradisional, sosok guru menjadi sosok yang begitu dihormati dan dijunjung tinggi. Mereka ini tentunya tidak mementingkan pendidikan formal yang melahirkan kertas-kertas ijazah dan gelar-gelar tertentu. Namun seorang santri akan sangat tunduk dan patuh dengan derajat kepatuhan yang sangat tinggi. Senada, seorang santri atau murid ketika belajar atau nyantrik, tidak harus mendapatkan ijazah dan gelar tertentu. Ketika seorang guru sudah melepas keluar pesantren, maka santri tersebut dianggap sudah mumpuni untuk mengamalkan dan menularkan ilmunya.

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang tertuang dalam Perpres tersebut, kiranya menjadi salah satu kegelisahan sekaligus jembatan antara kualifikasi akademik yang dilegitimasi melalui gelar dengan kualifikasi kompetensi atau keahlian. KKNI ini merupakan solusi terhadap jarak antara dua entitas tersebut, sembari memberi otokritik terhadap sistem pendidikan formal kita. 

Untuk mencapai grade atau jenjang pendidikan dalam KKNI -- yang ada 9 jenjang kualifikasi- tidak hanya bisa dicapai melalui pendidikan formal melalui sekolahatau kuliah saja. Ketika seseorang sudah mempunyai kecakapan atau kompetensi tertentu yang secara substansi bisa disetarakan dengan jenjang pendidikan tertentu, maka sudah bisa dinyatakan mempunyai kualifikasi yang setara pada level tersebut. Inilah barangkali makna seloroh Sang Menteri, "Lebih ahli mana Nini Thowok yang tidak bergelar akademik itu dengan S3 dalam bidang tari?"  

Dosen tanpa gelar kiranya menjadi sesuatu yang "biasa" dalam sistem pengajaran di Perguruan Tinggi. Selain fakta bahwa banyak dosen bergelar tinggi bukanlah jaminan bahwa dosen tersebut mempunyai kompetensi yang tinggi pula, juga secara teoritis, seseorang itu mempunyai spesifikasi tertentu yang terkadang didapatkan bukan berdasar teori, namun karena pratek dan pengalaman di lapangan. 

Dalam hal ini para profesional dan praktisi yang boleh jadi tidak bergelar, namun lebih efektif dalam mengajarkan pengalaman lapangan kepada mahasiswa, daripada misalnya dosen yang mendapatkan ilmunya hanya dari bangku kuliah. Pada titik inilah, dosen tanpa gelar bukanlah sebuah masalah yang harus dipersoalkan, namun lebih sebagai solusi dalam mengembangkan pembelajaran yang efektif.

Di kampus itu ada istilah Dosen Pembimbing Lapangan atau DPL pada Program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Sejauh yang penulis ketahui, DPL KKN ini ada dua macam, DPL dari dosen yang membimbing secara akademik, dan DPL yang mendampingi selama KKN berlangsung. DPL  yang terakhir ini biasanya merupakan para kepala desa atau tokoh pada sebuah komunitas. Dan para kepada desa atau tokoh komunitas ini banyak yang tidak mempunyai kualifikasi master atau doktor, bahkan tidak punya gelar sama sekali. Nah, bukankah hal yang biasa jika dosen lapangan ini merupakan dosen yang tanpa gelar akademik?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun