Isu kesehatan mental di dunia kerja makin menguat dewasa ini. Itu tak terelakkan karena Indonesia akan menghadapi "Bonus Demografi", dimana angka pekerja usia produktif mencapai lebih dari 60% di tempat kerja. Dominasi yang mengisi angkatan kerja ini berkisar usia 25-40 tahun yang marak dilabeli sebagai gen milenial, disusul pula oleh generasi Z dengan rentang usia 18-20 tahun.
     Dua generasi penyerbu dunia pekerjaan ini banyak dihantui dengan masalah kesehatan mental. Apalagi banyak penelitian menyebutkan bahwa pada usia dewasa awal (20-40 tahun), individu akan rentan terhadap penyakit gangguan mental. Jadi tak akan kaget bila mereka akan kurang maksimal dalam bekerja. Alih-alih bekerja untuk mendapatkan uang, mereka menganggap bekerja sebagai pengembangan bakat dan minat yang mereka miliki. Hal itu pula yang meningkatkan rentang angka yang cukup signifikan dalam perpindahan karyawan antar perusahaan. Hal itu didasari banyak faktor, salah satunya adalah kepuasan kerja.
     Sementara itu, sebagian pekerja lain dari generasi tersebut memilih untuk menetap di perusahaan tempat mereka bekerja, hal itu disebabkan oleh perasaan cemas bila mereka memutuskan untuk keluar dari perusahaan mereka tidak akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Mereka harus tetap bertahan di tengah himpitan kondisi rekan kerja, budaya kerja, atau bahkan atasan yang mengharapkan mereka dapat bekerja lebih dan lebih. Tak jarang, kondisi seperti ini berimbas pada masalah kepribadian seseorang. Salah satunya adalah penerapan quiet quitting selama bekerja.
     Quiet quitting merupakan fenomena dimana seseorang bekerja hanya sesuai dengan tugas pokoknya, segera pulang bila jam kerja telah usai, dan menolak pekerjaan berlebih dari perusahaan tempat mereka bekerja. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kebanyakan orang yang berusaha untuk semaksimal mungkin dalam mendapatkan posisi tertentu dengan konsekuensi tambahan tugas dan kewajiban. Meskipun penerapan quiet quitting ini bisa menjadikan keseimbangan dan kualitas hidup baik, namun bila dilakukan secara konstan bisa menimbulkan masalah lain yang akan berakibat pada kehidupan kerja individu. Karyawan yang menerapkan quiet quitting tak ubahnya menunjukkan penurunan motivasi untuk berprestasi di tempat kerja, menolak kenaikan pangkat, dan tentunya penurunan performa yang berimbas pada produktivitas kerja. Penerapan quiet quitting dipandang oleh beberapa orang sebagai tindakan protes atas kinerja mereka yang tak mendapatkan apresiasi dan kenaikan gaji atas prestasi yang telah mereka dapatkan.
     Dampak dari penerapan quiet quitting tidak hanya akan dirasakan oleh individu yang menerapkannya, tetapi juga orang-orang di sekitarnya terutama rekan yang bekerja dalam satu organisasi dan esensi organisasi itu sendiri. Bayangkan apabila dalam suatu organisasi di mana semua anggotanya menerapkan quiet quitting dan tidak memiliki sesuatu yang menonjol selain prestasi mereka yang sudah-sudah, maka organisasi tersebut akan tersingkir dan tereleminasi dari persaingan ketat dunia kerja sekarang ini. Oleh karena itu, penerapan quiet qitting yang dilakukan secara terus menerus juga tidak akan berdampak baik bagi individu, sehingga dibutuhkan keseimbangan dalam pengaplikasikannya, individu harus paham kapan waktu yang tepat bekerja sesuai porsi dan kapan waktu individu berupaya lebih keras dari apa yang biasanya dilakukan.
     Kebijakan yang perlu diambil untuk meredam atau bahkan membasmi fenomena ini adalah dengan memperhatikan kepuasan kerja karyawan, tingkat kebahagiaan dan menerima segala bentuk aspirasi dan masukan dari karyawan. Karena, bagaimanapun posisi pemangku jabatan dan karyawan dalam suatu perusahaan tak ubahnya sebagai partner yang harusnya saling menguntungkan, bukan malah menguntungkan salah satu pihak dan menyudutkan pihak lain. Integrasi yang terjalin antara pihak perusahaan dan karyawan akan meningkatkan produktivitas dan kepuasan kerja dalam suatu perusahaan. Dan tentunya hal itu yang diharapkan oleh semua pihak. Memperbaiki hubungan sosial antar karyawan yang memiliki jabatan yang sama juga penting untuk menstabilkan keadaan di lingkungan kerja dan mengurangi fenomena quiet quitting. Kepercayaan dan komunikasi harus selalu terjalin antar karyawan dengan karyawan maupun atasan dengan karyawan, karena dengan itu maka akan memudahkan karyawan ketika dirasa ada kendala yang hendak disampaikan, juga memudahkan atasan dalam menilai dan mengapresiasi kinerja dari karyawannya.
Kontributor:
Muhamad Agus EfendiÂ
Aifi Shabrina