Masa tenang dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah periode beberapa hari sebelum pemungutan suara, yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi masyarakat untuk menentukan pilihan tanpa adanya gangguan dari aktivitas kampanye.Â
Namun, dalam praktiknya, masa tenang sering kali tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan tujuan awalnya. Terkadang, masa tenang justru menjadi ajang bagi politisi dan partai-partai politik untuk melakukan transaksi politik yang bisa mempengaruhi hasil Pilkada.
Fenomena ini terjadi karena selama masa tenang, tidak ada kampanye yang sah dilakukan oleh kandidat atau tim suksesnya. Namun, ada ruang kosong yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan perundingan dan perjanjian politik di belakang layar.Â
Politisi yang berkompetisi sering kali mencari dukungan dari partai atau individu lain untuk mengamankan kemenangan mereka. Ini bisa mencakup kesepakatan politik atau janji untuk memberikan jatah tertentu setelah pemilu, seperti jabatan atau proyek pemerintah.
Transaksi politik semacam ini sering kali lebih bersifat pragmatis dan berfokus pada kepentingan jangka pendek, bukan pada program atau visi yang lebih luas untuk kemajuan daerah. Misalnya, calon yang mungkin sudah mengetahui bahwa mereka kekurangan dukungan untuk menang, akan melakukan negosiasi dengan pihak-pihak yang memiliki kekuatan elektoral.Â
Dalam hal ini, perjanjian politik sering kali lebih berbasis pada pertukaran sumber daya, seperti anggaran daerah, pemberian posisi strategis, atau alokasi proyek-proyek besar yang menguntungkan bagi pihak yang terlibat.
Selain itu, dalam masa tenang, tekanan sosial untuk menciptakan stabilitas juga semakin kuat, sehingga beberapa calon kepala daerah memilih untuk membentuk koalisi dengan lawan politik mereka atau pihak ketiga yang memiliki pengaruh besar. Mereka mungkin menawarkan kompromi atau perjanjian mutual untuk memastikan kelancaran transisi kekuasaan, meskipun ini bisa mengarah pada kompromi terhadap nilai-nilai demokrasi atau transparansi.
Bagi masyarakat, masa tenang yang idealnya menjadi waktu untuk meresapi pilihan mereka, justru sering kali diselimuti oleh aktivitas transaksi politik yang lebih bersifat di belakang layar. Hal ini tentu menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan meningkatkan kesan bahwa Pilkada lebih banyak berkaitan dengan kekuasaan dan keuntungan pribadi daripada kepentingan rakyat banyak.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pengawasan yang lebih ketat dari lembaga-lembaga terkait, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta peningkatan transparansi dalam seluruh proses pemilu, termasuk masa tenang. Jika tidak, masa tenang akan terus menjadi periode transaksional yang merugikan kualitas demokrasi dan partisipasi politik masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H