Konflik pasti dialami dimanapun kita berinteraksi. Dampaknya pun bisa beragam dan berbeda bagi setiap orang. Ada yang dengan berkonflik menjadi pemicu untuk berprestasi, ada yang menstimulus perbaikan, namun tak jarang justru berujung ketidaknyamanan dan iklim kerja yang tidak sehat. Bahkan sebagian menginginkan menjadi pemenang, sebagian seolah menjadi pecundang, dan yang hebat adalah yang mampu mengarahkan pada win-win solution.
Lalu apa sih sebenarnya yang memicu konflik? Para ahli teori prilaku dan budaya organisasi membuat berbagai teori faktor-faktor penyebab konflik. Namun menganalisis menggunakan teori motivasi Maslow bahwa konflik terjadi karena dua isu utama yaitu: 1) finansial dan 2) aktualisasi diri.
Ketika seseorang secara finansial atau ekonomi merasa terancam atau tersaingi maka ini bisa menjadi pemicu konflik. Misal, ketika seseorang yang secara bertahun-tahun merasakan manfaat finansial berupa keuntungan ekonomis dari posisinya sebagai penyedia seragam baru di sebuah instansi lantas mendapatkan posisinya akan digantikan, untuk mempertahankan keuntungan finansial ia akan mempertahankan posisinya. inilah yang kemudian memicu konflik antara pemegang posisi baru dengan mereka yang merasakan zona nyaman sebelumnya.
Aktualisasi diri
Sudah menjadi sifat dasar manusia ingin dihargai dan dihormati keunggulannya. Namun keinginan yang obsesi untuk selalu diunggulkan akan menjadikan konflik manakala ada orang lain yang mampu menyaingi bahkan mengunggulinya.Â
Pada beberapa organisasi misalnya, aktualisasi diri ini dapat berupa ingin dihormati sebagai orang kaya, paling pintar, paling berpengaruh atau paling mampu. Â Mereka berkonflik bukan karena finansial namun karena merasa status aktualisasi dirinya terusik. Mereka tidak suka ada orang yang memiliki kemampuan yang lebih baik dari dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H