Ini membuktikan, bahwa watak ekspansif kapitalisme telah membuat ketimpangan struktur penguasaan tanah atau lahan di Indonesia melalui praktik-praktik perampasan lahan baik secara ilegal maupun legal, dalam artian didukung melalui mekanisme politik yang terlegitimasi seperti undang-undang maupun peraturan yang mampu memberi legitimasi secara sah.
Beberapa praktik perampasan lahan secara legal misalnya terjadi di Wadas, di mana upaya pemisahan masyarakat Wadas dengan ruang hidupnya didukung melalui Perubahan Ketiga atas Perpres No. 3 tahun 2016 tentang Proyek Strategis Nasional dan UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Selain di Wadas, praktik perampasan lahan yang didukung secara legal juga terjadi dalam kasus pembukaan food estate di Kalimantan Tengah yang didukung melalui Permen LHK No. 24 tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate (Putra et al., 2022).
Lantas, bagaimana kaitannya antara perampasan lahan dengan kemiskinan. Praktik perampasan baik secara legal maupun ilegal, dalam teori Marx disebut sebagai akumulasi primitif.Â
Akumulasi primitif adalah proses historis pemisahan antara produsen dari alat-alat produksi (Marx, 2011). Dalam kontekstua
Tanah, tidak dapat serta merta dilepaskan begitu saja ke dalam mekanisme pasar. Ketika tanah diperlakukan sebagai komoditi dan dimasukkan ke dalam mekanisme pasar, maka relasi-relasi sosial yang terikat pada tanah akan terguncang dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat sekitarnya.Â
Sebagai syarat hidup, memasukkan tanah ke dalam mekanisme pasar membuat pengaturan pengaturan hidup masyarakat turut diserahkan pada mekanisme pasar (Polanyi, 1975).
Ketika perampasan lahan terjadi, maka terjadi proses transformasi masyarakat sekitar dari yang semula produsen independen menjadi tenaga kerja bebas. Bebas disini dalam artian ia tidak memiliki apapun untuk dijual selain tenaga kerjanya (Sangadji, 2022).Â
Lebih lanjut, dalam penelitiannya, Sangadji menunjukkan bagaimana ekspansi modal di industri pertambangan di Indonesia seperti yang terjadi di Papua dan Sorowako merupakan praktik-praktik akumulasi primitif, di mana masyarakat sekitar menjadi pekerja upahan bebas.Â
Akan tetapi, masyarakat sekitar tidak serta merta langsung menjadi pekerja upahan di pertambangan yang beroperasi di wilayahnya. Proses mereka menjadi pekerja upahan memakan waktu yang lama, dan selama fase penantian tersebut masyarakat yang sudah terlanjur kehilangan tanahnya sebagai ruang hidup harus hidup dalam kondisi mengenaskan dan tidak memiliki apapun untuk memenuhi kebutuhan materialnya.
Dengan begitu dapat ditarik kesimpulan, bahwa perampasan lahan yang dilegitimasi oleh berbagai produk hukum baik itu undang-undang maupun peraturan sah lainnya memiliki kontribusi terhadap peningkatan jumlah orang miskin di Indonesia.Â
Hal itu dikarenakan dalam perampasan lahan, terjadi transformasi masyarakat dan pemisahan masyarakat dengan ruang hidupnya, sehingga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan materialnya.Â