International Monetary Fund (IMF) baru saja merilis laporan mengenai pembangunan ekonomi global. Dalam laporan tersebut, ekonomi global diperkirakan mengalami perlambatan.
Hal itu disebabkan karena pengetatan keuangan di sebagian besar wilayah, invasi Rusia di Ukraina, dan pandemi Covid-19 yang berkepanjangan. Menurut IMF, pertumbuhan global akan melambat 6% pada 2021 menjadi 3,2% pada 2022, dan menjadi 2,7% pada 2023.
Selain itu, inflasi global akan meningkat dari 4,7% pada tahun 2021 menjadi 8,8% pada 2022 kemudian menurun menjadi 6,5% pada tahun 2023 dan menjadi 4,1% pada 2024 (International Monetary Fund, 2022). Menteri Keuangan Republik Indonesia sendiri Sri Mulyani menyatakan bahwa dunia pasti dilanda resesi pada 2023 mendatang yang disebabkan oleh kenaikan suku bunga yang cukup ekstrim bersama-sama (CNN Indonesia, 2022).
Untuk menangani resesi atau inflasi ekonomi, tentunya diperlukan seperangkat kebijakan yang tepat guna kembali menstabilkan ekonomi negara. Jangan sampai, kebijakan yang diambil pemerintah dalam menghadapi krisis malah membuat dampak yang lebih buruk seperti yang pernah terjadi di Zimbabwe pada 2007 silam yang membuat negara tersebut mengalami inflasi dengan rata-rata angka mencapai 600%.
Tetapi, sebelum beranjak lebih jauh mengenai kebijakan yang tepat dalam menangani krisis ekonomi terutama di Indonesia, terlebih dahulu saya akan memaparkan rasa penasaran saya mengenai kemampuan ekonom untuk memprediksi krisis di masa mendatang.
Dalam menjawab rasa penasaran mengapa suatu krisis ekonomi di masa mendatang dapat diprediksi oleh ekonom, tentunya perlu diketahui pula prakondisi-prakondisi yang memungkinkan terjadinya krisis ekonomi.
Krisis ekonomi merupakan sebuah keadaan di mana reproduksi ekonomi dalam masyarakat mengalami gangguan yang parah yang disebabkan oleh terinterupsinya kelangsungan akumulasi kapital dan ekonomi (Panitch & Gindin, 2011).
Penjelasan yang lebih populer mengenai terinterupsinya kelangsungan akumulasi kapital dan ekonomi dikarenakan adanya over produksi yang disebabkan dua hal, pertama ketika uang menjadi kapital dan kedua adalah anarki produksi. Tuntutan dari corak produksi yang dominan saat ini yaitu kapitalisme, membuat uang harus terus diinvestasikan guna membeli komoditi dan meraup keuntungan dari penjualan sesuai tingkatan yang diharapkannya.
Hal itu dapat menyebabkan adanya anarki produksi, yaitu tidak adanya perencanaan produksi karena produksi komoditi tidak didasarkan pada konsumsi melainkan didasarkan pada keharusan untuk mengakumulasi kapital.
Tidak seperti yang diramalkan oleh ekonom klasik Baptiste, bahwa produksi akan menciptakan konsumsi, di bawah corak produksi kapitalisme pasar dikondisikan untuk terjebak dalam situasi ketidaksebangunan antara permintaan dan penawaran, dan hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi. Sekarang, menjadi masuk akal mengapa para ekonom mampu memprediksi krisis yang akan terjadi di masa mendatang.
Hal itu dikarenakan krisis merupakan suatu keniscayaan dalam corak produksi yang dominan saat ini, atau menurut Marx, krisis merupakan konsekuensi internal dari kapitalisme yang selalu memberikan tuntutan struktural akan keharusan mengakumulasi kapital karena bentuk sistemnya yang terbuka dan dinamis serta selalu berusaha melampaui batas teritorial dan waktu tertentu (Pontoh, 2021).
Selanjutnya, kita akan masuk pada pembahasan mengenai dampak dan kebijakan mengenai krisis skala global, termasuk bagi Indonesia. Ekonom sekaligus pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Chatib Basri (2022) menulis rubrik dalam harian kompas bahwa situasi krisis saat ini merupakan situasi serba salah.
Di tengah situasi krisis global, menurutnya Indonesia sedikit diuntungkan karena nilai ekspor terhadap PDB relatif kecil yang disebabkan oleh kurang terintegrasinya Indonesia dalam rantai ekonomi global.
Namun, Indonesia akan mengalami dampak terutama di jalur keuangan tatkala dollar AS tetap menguat dibandingkan dengan mata uang Eropa. Implikasi lebih lanjut, rupiah akan melemah dan memberikan efek pada neraca serta ketidaksebangunan mata uang.
Beban utang dalam mata uang dollar AS akan meningkat, begitu juga dengan kerugian yang dialami industri sektor domestik ketika investasi asing masuk dalam mata uang rupiah dan repatriasi keuntungan dalam mata uang AS.
Menurut Chatib Basri, Indonesia perlu menerapkan bauran kebijakan (policy mix) di mana pengetatan moneter dilakukan, tetapi tidak berlebihan, pelemahan rupiah terjadi, tetapi dijaga agar tak terlalu tajam fluktuasinya.
Ada argumen yang saya sepakati dari Chatib Basri dalam tulisannya tersebut, bahwa pemerintah haruslah menempatkan prioritas pada "mana yang harus" bukan "mana yang ingin".
Hal tersebut mengingatkan saya pada orang-orang yang paling terdampak dari krisis ekonomi skala global, yang tak lain adalah mereka yang termarjinalkan dari alat produksi serta termarjinalkan dari rantai ekonomi yang kerap muncul dalam angka-angka statistik namun luput dalam pembahasan mengenai kebijakan.
Krisis ekonomi global saat ini dapat dijadikan momentum oleh pemerintah untuk mengembalikan ekonomi pada tempatnya, yaitu ekonomi untuk rakyat.
Setelah mengetahui bahwa krisis merupakan konsekuensi internal dan logis dari corak produksi dominan saat ini, yaitu kapitalisme, tentunya momentum krisis akan menjadi pergulatan pula bagi kelas borjuis untuk kembali melakukan konsolidasi modal dan fiskal sehingga corak produksi kapitalisme dapat bertahan, atau yang disebut oleh Joseph A. Schumpeter sebagai creative destruction (2008).
Hal yang paling dikhawatirkan ketika terjadi inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara terus-menerus dan membuat nilai uang menurun. Bayangkan bagaimana nasib mereka yang termarjinalisasi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling esensial?Â
Ada beberapa langkah yang menurut saya tepat dan dapat dilakukan di Indonesia, bukan hanya untuk penanganan jangka pendek, tetapi untuk mengembalikan esensi dari ekonomi pada rakyat.
Pertama, dalam merespon kelangkaan pangan akibat kenaikan harga sebagai konsekuensi dari inflasi, pemerintah dapat menasionalisasi berbagai sektor-sektor yang esensial seperti pangan dan energi.
Seperti kita ketahui, Indonesia sebagai negeri agraris, penguasaan tanah masih sangat timpang dan didominasi oleh sektor privat seperti halnya penguasaan tanah dalam proyek food estate baik di Kalimantan maupun Papua.
Dengan dinasionalisasinya sektor pangan, dapat memacu kembali daya beli serta aktivitas ekonomi di masyarakat terlebih jika didukung dengan program operasi pasar.
Kedua, pemerintah harus segera menjalankan program perlindungan sosial demi meminimalisir dampak buruk dari resesi pada tahun depan. Karena tak dapat dipungkiri, dampak terburuk dari resesi ekonomi global di Indonesia adalah terulangnya kejadian tahun 2005 hingga 2007 dimana 50.000 orang bunuh diri karena kemiskinan dan himpitan bunuh diri yang disebabkan minimnya perlindungan sosial dari negara (VHR Media, 2007).
Dengan dikuasainya sektor-sektor esensial oleh negara, logika produksi untuk akumulasi bergeser menjadi logika produksi untuk konsumsi.
Atau, negara tetap dapat mempertahankan logika akumulasi kapital dalam bentuk economic growth-nya sembari tetap memasukan indikator-indikator seperti aspek kemanusiaan dan juga kebebasan untuk mengembangkan setiap potensi individu serta kolektif.
***
Referensi
Basri, C. (2022, October 10). Resesi Global dan Pilihan Kebijakan. Kompas.id. Retrieved October 20, 2022, from https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/10/resesi-global-dan-pilihan-kebijakan
CNN Indonesia. (2022, September 26). Sri Mulyani: Dunia Pasti Resesi pada 2023. CNN Indonesia. Retrieved October 18, 2022, from https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220926163036-532-852840/sri-mulyani-dunia-pasti-resesi-pada-2023
International Monetary Fund. (2022). World Economic Outlook. International Monetary Fund. https://www.imf.org/en/Publications/WEO/Issues/2022/10/11/world-economic-outlook-october-2022
Panitch, L., & Gindin, S. (2011). Capitalist Crises and the Crisis this Time. 47(The Crisis This Time), 1-20. https://socialistregister.com/index.php/srv/article/view/14328
Pontoh, C. H. (2021). Kapitalisme-Neoliberal Sebagai Proyek Kelas: Sebuah Analisa Marxis. In Neoliberalisme: Konsep dan Praktiknya di Indonesia. Pustaka IndoPROGRESS.
Schumpeter, J. A. (2008). Capitalism, Socialism and Democracy. Harper Perennial Modern Thought.
VHR Media. (2007, November 16). Penyebab Utama Kemiskinan: 50.000 Orang Indonesia Bunuh Diri Selama 3 Tahun Terakhir. Info Indonesia. Retrieved October 21, 2022, from https://infoindonesiakita.com/2007/11/16/penyebab-utama-kemiskinan-50000-orang-indonesia-bunuh-diri-tiap-tahun/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H