Beberapa tahun ke belakang, perbincangan mengenai gender cukup ramai, terutama di media sosial. Mulai dari perbincangan mengenai kekerasan dan pelecehan seksual, upah pekerja, relasi dalam keluarga, dan lain sebagainya. Ramainya perbincangan mengenai gender rasanya perlu disyukuri sebagai langkah awal dalam usaha menciptakan tatanan sosial yang setara.
Tetapi, apa itu sebenarnya gender? Secara definitif, ada beberapa definisi mengenai gender itu sendiri. Misalnya Fakih (2008) mendefinisikan gender sebagai suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Sementara menurut Santrock (1977) gender mengacu pada dimensi sosial untuk menjadi laki-laki atau perempuan. Lebih lanjut, Santrock menjelaskan bahwa ada dua aspek utama dalam gender, yakni peran gender dan identitas gender. Identitas gender mengacu pada perasaan menjadi laki-laki atau perempuan, yang sudah bisa dirasakan sejak umur tiga tahun. Sedangkan peran gender yakni serangkaian harapan yang mengkonstruksi bagaimana perempuan dan laki-laki harus berpikir dan bertindak di dalam masyarakat.
Berbicara mengenai kebijakan, tentu kebijakan yang diharapkan tentunya berkeadilan gender. Tetapi, nampaknya berbagai kebijakan yang ada saat ini belum memperhatikan sensitivitas gender, sehingga dirasa tidak berkeadilan gender. Misalnya dalam UU Cipta Kerja, yang dianggap tidak sensitif gender karena cenderung merugikan pekerja perempuan dengan munculnnya risiko kehilangan hak sebagai pekerja terkait fungsi reproduksinya.
Salah satu isu gender yang menjadi sorotan utama saat ini yakni isu mengenai kekerasan seksual. Dorongan publik agar parlemen menerbitkan undang-undang anti kekerasan seksual bertebaran secara massif di media sosial. Sebenarnya, RUU PKS (Pencegahan Kekerasan Seksual) telah diinisiasi sejak 2012, tetapi naskah akademik baru dipegang oleh pihak DPR pada 2016. Sulitnya mengesahkan undang-undang sensitif gender di Indonesia dapat dilihat dari perjuangan panjang UU PKS. Setelah satu dekade, akhirnya UU PKS menemui titik terang dan disahkan oleh DPR (12/4).
Persoalan minimnya kebijakan yang berkeadilan gender, terutama bagi perempuan ternyata berbanding terbalik dengan representasi perempuan di parlemen. Pada 2009 representasi perempuan di DPR sebesar 17,86%, pada 2014 sebesar 17,32%, dan pada 2019 sebesar 20,87%. Meningkatnya jumlah perempuan di parlemen, ditambah dengan saat ini ketua DPR dipegang oleh perempuan, ternyata tidak dapat memberikan signifikansi terhadap kebijakan yang berkeadilan gender.
Lantas apa yang membuat begitu sulitnya pengesahan kebijakan yang sensitif gender? Jawabannya tentu saja budaya patriarki yang sudah melanggeng di masyarakat. Karena sudah melanggeng lama dan menimbulkan penormalisasian, perempuan pun tak jarang merasa tidak sadar bahwa mereka menjadi korban dari sistem patriarki. Akibatnya, tak jarang pula perempuan malah menjadi agen untuk melanggengkan kembali budaya patriarki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H