Ketika rakyat yang berdaulat terasa kian santer menyuarakan dan menuntut kedaulatannya. Ketika bangunan ekonomi rakyat berteriak karena kehilangan pilar-pilar penyangganya. Dengan hati yang pedih kita masih saja melihat runtuhnya harkat kemanusian. Sementara angka-angka statistik tentang suksesnya pembangunan kian bertebaran dimana-mana.
Ditengah naiknya pendapatan perkapita, kita masih saja tetap bersua dengan jutaan rakyat miskin yang tidak tersentuh oleh nikmatnya pembangunan. Ditengah APBN yang meningkat, kita masih melihat buruh tani dan nelayan yang terlupakan oleh para perencana pembangunan. Dan ketika semua hanya mampu lelap tertidur dan tak berbuat apa-apa, maka seorang bayi pun akan bertanya pada ibunya "betapa beraninya engkau melahirkan aku dalam kebohongan."
Akankah kita terus rayakan kemerdekaan, walau nurani kita belum merdeka? Buat apa kita kibarkan merah putih, kalau lambang merah tidak lagi berani, dan putih tidak lagi suci? Buat apa?
Diran yang tukang becak tidak mengerti dan sempat berpikir, apa arti kemerdekaan. Seorang Kosim yang buruh tani juga terlalu sibuk memikirkan garapan sawahnya dan tidak ada waktu untuk merenung tentang usia kemerdekaan negerinya.
Rasanya, memang ada yang salah dalam konsep pembangunan. Trickle Down Effects yang diharapkan mampu menaikan derajat manusia Diran dan Kosim -- yang terjebak kemiskinan struktural, nampaknya jauh di awang, karena air yang menetes cuma gerimis kecil di tengah panasnya denyut kapitalisme, tidak menyejukan apalagi menawarkan dahaga.
Diran dan Kosim serta dua puluh jutaan saudara-saudara kita terkadang menikmati kemerdekaan  dengan jejalan sampah informasi yang tidak mereka kehendaki, yang pada akhirnya mereka hidup di dua dunia. Yang satu kakinya menapak di bumi pertiwi, dan yang satunya lagi menjejak di dunia lain yaitu American Dreams.
Konsep ekonomi yang berpihak pada rakyat, sejatinya dapat mengurangi angka kemiskinan. Sehingga  tidak akan terdengar lagi  dentingan nyanyian  dari gitar tua-nya  Rhoma Irama "yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin". Oleh karena itu, pembangunan akan berarti kalau  Diran dan Kosim mencicipi nikmatnya kue pembangunan dari negeri ini. Jangan sampai muncul Diran -- dan Kosim yang lain yang tega membunuh saudaranya sendiri.
Nyanyian lama tentang keindahan nusantara, tentang rahmat kemerdekaan, tentang keramahan orang timur, tentang kekayaan bumi pertiwi. Saking indahnya dan berlimpahnya kekayaan negeri kita, hingga bangsa lain pantas menyebut pulau-pulau di Indonesia sebagai "untaian zamrud khatulistiwa". Selama puluhan tahun, Indonesia dengan izin Allah  kita hidup makmur, loh jinawi.
Sekarang suara yang lebih nyaring dan memekakan gendang telinga kita adalah umpatan dan caci maki kotor, terorisme, bohong membohongi, pecah kongsi, saling gertak dan mengancam yang terfokus pada rebutan kekuasaan. Kidung lama tentang keindahan zamrud khatulistiwa telah mengalami deviasi dan distorsi besar-besaran.
Sepertinya, negara Indonesia adalah negara yang "mengherankan", Indonesia kini bukan lagi Indonesia masa lalu yang jaya. Bangsa Indonesia yang kita kenal ramah ternyata sering memuat kerusuhan, pembakaran dan permusuhan yang berkepanjangan, yang pada akhirnya tidak lebih dari pembunuh yang tega menghabisi nyawa sesamanya.