Zaman kolonial Belanda, guru merupakan profesi yang mendapat tempat tersendiri di mata masyarakat. Sebutan "Juragan guru", atau "Guru ratu wong atua karo", merupakan suatu bukti, betapa terhormatnya profesi guru pada saat itu.
Penghargaan yang tinggi secara moril ini pun diikuti oleh pendapatan yang memadai.
Akan tetapi, pada zaman pendudukan Jepang, nilai seorang guru mulai merosot. Baik secara moril maupun materil.
Pada zaman itu guru sudah mulai nampak harus menghormati secara tidak wajar kepada para pejabat pemerintah. Disiplin secara kaku pun diajarkan, sikap semu mulai kelihatan menonjol termasuk sikap mental menjilat kepada atasan pun sangat dominan.
Dari segi pendapatan, tidak lagi memadai, apalagi pada saat itu semua dana tersedot untuk membiayai perang melawan musuh-musuhnya.
Di zaman revolusi fisik, tokoh guru dirasakan semakin kabur, nasib mereka semakin tidak menentu, mereka banyak yang beralih profesi.
Ada yang menajdi tentara, ada juga yang menekuni dunia politik praktis. Ini terjadi karena profesi guru tidak lagi menjanjikan harapan.
Di zaman orde baru, profesi guru agak mengalami perubahan, baik secara moral maupun material.
Namun bila dibandingkan dengan profesi lain, guru masih relatif rendah bila ditinjau dari harga imbalannya. Sebutan guru "pahlawan tanpa tanda jasa" sering diidentikan dengan rendahnya penghasilan secara material.
Di era industrialisasi seperti ini, nilai dan imbalan terhadap suatu profesi dilihat dari cepatnya memberikan kenikmatan. Profesi guru pun tidak terlepas dari penilaian seperti itu.
Demikianlah penilaian dan imbalan terhadap guru. Sungguh sangat menyedihkan memang, Â tapi itulah realita yang sebenarnya.