Tahun 2018, merupakan tahun yang penuh cerita dalam hidup Geo, mulai dari yang membanggakan, yang tidak disangka-sangka datangnya, sampai cerita mengenaskan. Kehidupan anak kuliahan menjadi hal yang sangat asing, dunia kuliah jauh berbeda dengan dunia pesantren. Di dunia kuliah  sudah lumrah seorang perempuan pulang hingga larut malam, karena memang terkadang hal tersebut di butuhkan untuk kemajuan dirinya.Â
Namun, juga terkadang mereka hanya nongkrong menghabiskan malam dengan hampa tiada guna. Politik kampus menjadi hal yang menarik bagi Geo, ia rajin mengikuti organisasi-organisasi kemahasiswaan, ia menghabiskan malam dengan pikiran yang selalu berkecamuk dengan problematika kampus. Kebijakan birokrasi yang sering tidak sejalan dengan pikirannya membuat dirinya sering tidak bisa tidur malam.
Mengingat dirinya masih mahasiswa baru rasa takut dan was-was selalu menghampirinya, dia tidak bisa berbuat apa-apa, hanya rasa kasian melihat teman seperjuangannya tidak sadar bahwa dirinya telah ditipu oleh elit penguasa, dengan sikap diam orang-orang itu ternyata telah mengambil hak dirinya dan teman-temannya.Â
Di suatu ketika kebijakan itu harus benar-benar diruntuhkan karena sangat jelas hak mahasiswa tidak di berikan, para MABA (mahasiswa basi) yang menjadi pelopor peruntuhan kebijakan tersebut. Jalan terakhir di ambil oleh para aktivis yaitu demontrasi, pro kontra terlihat jelas saat itu, presiden fakultas yang di tempati Geo telah mengultimatum jangan sampai ikut-ikutan aksi turun jalan tersebut.Â
Dalam pikiran Geo bertanya-tanya mengapa oknum yang mempunyai kewajiban untuk memperjuangkan hak-hak itu malah mengultimatum kegiatan tersebut. Perenungan di sepanjang malam menghasilkan keputusan bahwa besok pagi dirinya harus turut dalam aksi turun jalan itu.
Pagi telah menyingsing, semua aktivis itu telah bersiap untuk meluluhlantakkan kantor pusat Universitas, mobilisasi massa telah di lakukan oleh para aktivis, seakan hari libur, tugas kuliah tak dihiraukan, absen menjadi suatu yang pasti demi memperjuangkan hak-hak itu, tak terkecuali Geo_mahasiswa baru yang berani mengotori sisternya dengan tulisan alpa.Â
Teriakan menggelegar, urat leher kaku, kemarahan datang bak badai, seakan darah mendidih mengalir di dalam nadi-nadi mereka. Bentrokan dengan pengamanan kampus tidak bisa dihindari, mereka telah berbaris di depan kantor rektorat, mungkin berita aksi ini telah sampai pada telinga para elit penguasa sehingga memerintahkan mereka untuk menghadang para aktivis.Â
Geo sempat terjepit di antara mahasiswa yang telah berapi-api dan para penjaga bertubuh besar yang menunaikan kewajibannya, tubuh kecil membuat dirinya hanya mampu mengikuti arus dorong-dorongan tersebut, rasa sakit tidak dipedulikan, hanya hak mahasiswa yang ada dalam pikirannya.
Keesokan harinya aktivitas kuliah kembali normal, Geo masuk kelas dengan perasaan yang sedikit tenang karena merasa telah membela  manusia tertindas, minimal ikut menyuarakan hak-hak mahasiswa. Namun, sangat tidak diduga, teman-temannya menganggap Geo hanya ingin dipuji, hanya mencari perhatian. "rekan-rekan kemarin ada yang tidak masuk kuliah, kemana katanya ?" kata ketua kelas yang berada didepan, dari kejauhan menimpali "cari muka paling, Ric !!!".Â
Mendengar kalimat itu, jiwanya Geo terasa terbakar, hatinya seakan tersayat oleh silet panas, tapi marah masih bisa ia padamkan, dia sadar bahwa mereka hanya orang-orang yang melihat sesuatu dari satu sisi saja, mereka hanyalah manusia yang tidak mengerti mengapa dia dilahirkan dan kenapa dia diberi kesempatan menuntut ilmu hingga sampai ke perguruan tinggi.Â
Sebenarnya rasa sakit hati, perjuangan Geo yang tidak dihargai oleh orang yang diperjuangkan membuatnya menutup rasa maaf. Namun, karena dia belajar untuk mengikhlaskan segala sesuatu membuatnya menganggap bahwa suatu persahabatan itu sangat penting, meskipun semenjak saat itu mereka lambat laun menjauhi Geo, sehingga membuatnya semakin mesra dengan kesunyian malamnya.