Mohon tunggu...
Muhamad Zubair Hasan
Muhamad Zubair Hasan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Theologi IAIN Walisongo Semarang dan aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Idea. Seorang yang ingin belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Refleksi Diskusi “Mencandra Waktu dalam Entitas Diri”

24 Oktober 2012   05:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:27 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menurut Heidegger ada tiga tahap dalam proses dasein yang berusaha “mewaktu”. Yang pertama adalah proses bernama“keterlemparan”, di mana seseorang membuat pertanyaan tentang dirinya sendiri, tentang mengapa ia lahir, tujuan hidup dan sebagainya. Setelah ia berhasil melewati tahap itu, ia sampai pada tahap kedua yaitu “keseharian”. Dalam hal ini manusia sadar akan “eksistensi” selain dirinya. Apabila telah berhasil melewati tahap ini, seseorang benar-benar menjadi makhluk sosial karena ia sadar tidak sendiri di dunia ini. Sedangkan tahap terakhir adalah kematian. Kematian disini tidak hanya berarti mati dalam jasad. Dalam kajian eksistensialisme ketika dasein mati, selain jasadnya yang kehilangan nyawa, ia juga mati dari keadaan sosial. Ia dianggap mati lebih karena kesempatannya untuk “mengada” dalam komunitas sosial hilang karena kematian jasadnya. Yang menarik adalah, bagi seorang eksistensialis seseorang terkadang tidak hanya satu kali “mati”. Ia bisa dikatakan “mati” apabila ia tidak bisa mengada di komunitas sosial dimana ia mengada. Inilah kurang lebih yang ingin disampaikan oleh rekan seperjuanganku di Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) IDEA dalam tulisannya yang berjudul “Mencandra Waktu dalam Entitas Diri” yang akan dimuat di Majalah IDEA edisi 33 yang mengusung tema “Waktu”. Majalah IDEA adalah majalah semi jurnal yang diterbitkan oleh LPM IDEA yang memuat berbagai diskursus ke-ushuluddin-an meliputi pemikiran Tafsir, Hadis, Filsafat, Psikologi, Sosial, perbandingan agama, dsb.

Ada beberapa hal yang saya dapatkan baik dari artikel yang ia tulis maupun dari diskusi yang berjalan. Hal yang paling mendasar dalam pembagian jenis waktu adalah adanya waktu subjektif dan waktu objektif. Waktu subjektif adalah waktu yang telah disepakati oleh masyarakat. Masyarakat mempunyai standar yang baku tentang tahun, hari, jam, menit, detik, dan sebagainya. Untuk menyelaraskan ini ada penyatuan waktu yang kita kenal dengan istilah Grenwich Meredian Time (GMT). Salah satu dampak dari adanya penyamaan waktu di seluruh tempat di dunia dengan waktu GMT menyebabkan terkotak-kotaknya waktu masing-masing wilayah. Di Indonesia sendiri waktu terbagi menjadi tiga bagian yang semuanya masing-masing memiliki selisih satu jam.

Adapaun waktu obejktif tidak terikat dengan aturan waktu, tetapi lebih diatur oleh objektifitas masing-masing individu. Dalam arti lama pendeknya waktu ditentukan oleh situasi, kondisi, dan perasaan seseorang. Seorang yang sedang asyik-masyuk bersama kekasihnya atau sedang asyik berdiskusi akan lupa waktu dan merasa waktu cepat sekali berlalu. Berbeda dengan orang yang sedang menjalani hukuman atau sedang menunggu sesuatu. Waktu akan terasa lebih lama dari yang seharusnya.

Dalam diskusi itu ada yang berpendapat bahwa waktu subjektif dan objektif sangat berbeda. Tetapi saya lebih berpendapat bahwa waktu subjektif dan objektif merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Memang apabila dilihat sekilas berbeda, tetapi apabila ditelisik lebih dalam dua hal itu berhubungan. Dalam waktu objektif, lama dan panjangnya waktu sangat dipengaruhi oleh kondisi psikis seseorang. Tetapi waktu objektif mempunyai kelemahan. Ia hanya bisa dipahami oleh orang yang menjalaninya saja. Orang lain yang mempunyai pengalaman yang berbeda tidak bisa merasakan apa yang dirasakan pelaku waktu objektif. Dalam hal inilah waktu subjektif dibutuhkan, karena ia merupakan sebuah standar yang telah dipahami oleh semua orang. Semisal dengan berkata “sehari bagaikan satu jam”, dsb. Bahkan pelaku waktu objektif pun tetap memerlukan “bantuan” waktu subjektif agar ia bisa lebih merasakan sebuah “obektifitas waktu”.

Selain itu juga dibahas tentang relativitas waktu. Waktu di bumi dan di luar angkasa akan terasa berbeda. Waktu di luar angkasa terasa lebih lambat daripada waktu di bumi. Hal ini karena, menurut einstin, waktu akan melengkung dan berjalan lebih lambat di tempat yang sepi gravitasi. Hal ini karena gravitasi sangat mempengaruhi panjang pendeknya waktu.

Mengenai pembagian tahapan waktu oleh heeidegger, ketika masih dalam forum diskusi saya belum menyadarinya. Tetapi ketika menulis tulisan ini saya menemukan sebuah ketidak singkronan dari teori waktu yang heidegger layangkan. Dalam penamaannya mungkin sudah tepat, “keterlemparan, keseharian, dan kematian”. Tetapi dalam keterangan yang heidegger paparkan tidak terlalu menyangkut tentang konsep waktu, tetapi hanya meliputi tentang bagaimana seseorang menyadari dirinya sendiri yang lalu dilanjutkan dengan keharusan seseorang untuk mengada di tengah masyarakat. Hal itu bertujuan agar ia tidak menjadi “orang yang mati” sebelum ia benar-benar mati dengan hilangnya nyawa dari tubuhnya. Hal ini mungkin di latar belakangi konsep yang heidegger tentang waktu yang baginya, waktu merupakan sebagai sebuah “kesadaran diri” dalam “kemewaktuannya”. Dan mewaktu menurut Heidegger merupakan pemaknaan penting tentang “ada”. Jadi ia tidak membuat devinisi waktu, tetapi membuat konsep agar seseorang tidak menyia-nyiakan waktunya dengan lebih menekankan agar seseorang berusaha terus mengada dan hanya mengalami “kematian” hanya ketika ia benar-benar mati dengan tidak berfungsinya semua anggota tubuhnya.

Mungkin ini hanya pendapat dari orang ngawur yang tidak paham filsafat. Jadi mungkin ada banyak kesalahan yang termaktub dalam tulisan ini. Kalau ada yang berkenan membenarkan, saya sangat berterima kasih. Salam !!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun