Diri yang luluh dalam makna bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Â Namun untuk menjadi hal yang seperti itu memang dibutukan sebuah perjuangan yang berat bahkan mungkin dapat diasingkan karena memiliki jalan yang berbeda agar bertemu dengan alur pemahaman yang benar. Istilah diasingkan bahkan sampai dikatakan orang gila adalah lebel yang pantas disandang oleh mereka yang ingin "luluh dalam makna" karena dianggap berbeda jalan yang dilakukannya.
Luluh dalam makna adalah sebuah kenyataan-kenyataan bersifat ruhani (non fisik) yang muncul pada diri manusia dalam bertindak. Â Sehingga yang dilakukan merupakan bentuk kemanunggalan diri dalam keseimbangan atau kesempurnaan sebagai manusia sejati. Â Kemanunggalan atau kesempurnaan itulah yang akan memberikan "kelezatan" kehidupan dengan kepemilikan pemahaman yang sempurna karena perpaduan antara unsur ruhani dan fisik, dan mengakibatkan jiwa diri hidup dalam jiwa aktivitas yang dilakukan.
Luluh dalam makna puasa merupakan kehadiran jiwa yang dimiliki setiap diri manusia dalam melakukan ibadah puasa dan menjadikan puasa sebagai bentuk pencarian dan pengawalan jiwa dalam melakukannya. Â Tidak hanya sekedar menahan keinginan perut dan syahwat yang dimiliki namun sebagai bentuk menemukan aktivitas penemuan jiwa-jiwa yang lapar dan segera butuh berbuka untuk mendapatkan asupan. Â Karena selama ini diri dikuasai oleh asupan-asupan materi saja namun melupakan asupan-asupan ruhani yang sebetulnya merupakan alur untuk menuju hakekat manusia sejati.
Bulan pun Luluh
Puasa yang biasanya dibatasi oleh kehadiran oleh bulan secara fisik memang hanya sebuah periode waktu tertentu yang ditetapkan. Â Pembatasan waktu ini sebuah makna yang fisik karena hanya melihat dunia materi atau jasadiyah saja. Â Pemahaman ini akan benar manakala diri tidak mampu luluh dalam makna.Â
Namun manakala diri mampu luluh dalam makna dengan hadirnya kenyataan-kenyataan yang bersifat non fisik akan menemukan sebuah rekonstruksi makna yang luas. Â Puasa tidak hanya sekedar pengkondisian waktu dan perjalanan diri dalam lintas dimensi waktu pun juga akan ditemukan manakala diri mampu menghadirkan jiwa dalam melakukan ibadah puasa. Sebuah kemudahan dan keistimewaan puasa betul-betul terlihat manakala diri mampu mencapai hal tersebut
Hadirnya jiwa dalam diri yang diberikan oleh Sang Pencipta dan dibutuhkan oleh setiap manusia diperlukan agar diri mampu luluh dalam makna di bulan puasa ini. Hal ini akan mengakibatkan bulanpun luluh karena waktu adalah menjadi tiada terbatas. Â Manakala diri dalam kondisi yang demikian maka diri adalah menjadi pribadi yang tiada terbatas.
Pemahaman tentang pengkondisian waktu yang selama ini menjadi acuan dalam memaknai ibadah yang dilakukan akan menjadi semu. Â Karena waktu hanyalah sebatas irama dalam mencari asupan untuk kebutuhan keseimbangan diri. Dimana satu sisi adalah menekan asupan yang bersifat materi namun disisi lain adalah memberi kelonggaran agar asupan non materi atau ruhani mampu masuk dengan sebanyak-banyaknya.
Banyaknya ruang kosong yang bisa dimaksimalkan untuk berkembangnya jiwa manusia menjadi diri manusia yang hidup ditengah kehidupan. Â Karena jiwa inilah yang sebetulnya merupakan hakekat kehidupan diri yang sejati sebagai manusia yang sempurna Manakala jiwa tak mampu hidup dan berkembang maka diri adalah seperti robot yang bisa diperintah oleh perut dan syahwat ataupun seperti manusia yang bukan hakekat manusia sejati.
Dan ini menjadikan waktu siang dan malam bukan merupakan pembatas untuk aktivitas berpuasa melainkan sebagai bentuk bagaimana diri hidup "sebagai" manusia yang seimbang. Hal ini dikarenakan selama ini kehidupan diri hanya diorientasikan dalam kehidupan yang hidup dalam dunia fisik saja akibat terpenjara dalam pemahaman yang dimiliki.
Sedangkan pemahaman tentang lintas dimensi memberikan gambaran yang non fisik tentang bagaimana diri mampu menangkap dibalik keterbatasan waktu yang ada. Â Hadirnya jiwa dalam memahami lintas dimensi yang ada dalam bulan puasa ini adalah bentuk "nilai majemuk" dari pelipatan nilai ibadah yang diberikan oleh Sang Pencipta. Â Namun manakala diri tak mampu menangkapnya maka jiwa tak akan menemukan nilai majemuk yang terjadi.