Luluh dalam makna merupakan kelanjutan dari tulisan kami dalam bulan pun luluh yang membahas mengenai pemaknaan bulan yang banyak digunakan untuk menentukan waktu.  Namun dalam bulan penuh makna memberikan sebuah pandangan yang berbeda tentang hakekat dari bulan yang selama ini menjadi pembatas diri dalam beraktivitas. Arti yang berbeda dalam memaknai adanya sebuah bulan bukanlah sebuah perbedaan  yang perlu diperdebatkan melainkan menjad khasanah untuk menambah pemahaman tentang pengetahuan yang ada di sekitar kita.
Ketika ada atau hadirnya sebuah informasi baru yang mungkin berbeda dengan pemahaman baru tugas diri bukanlah menutup atau berteriak dan menjustifikasi bahwa hal yang baru adalah salah. Namun perlu di renungkan bahwa sesuatu yang baru mungkin dapat digunakan sebagai obat diri untuk melakukan perenungan yang mendalam tentang "kebuntuan" kondisi yang ada.  Hal ini perlu dilakukan karena mungkin dalam ketidaksadaran selama ini banyak batasan pemahaman diri  yang mempengaruhi kondisi kehidupan diri.
Diri yang memiliki pendapat seperti ini adalah hakekat diri sebagai manusia yang terbuka dan memiliki hati yang bersih. Namun banyak yang diri sangat "alergi" dengan sesuatu yang berbeda karena dianggap sebagai sesuatu yang aneh bahkan sebagai hal yang akan mengancam posisinya. Â Diri yang demikian biasa bertingkah seperti katak dalam tempurung akibat kepemilikan pemahaman atau kesadaran hidup yang rendah.
Pembangunan kesadaran diri adalah sebuah proses pembangunan diri yang dilakukan dengan selalu baca dan belajar terhadap fenomena yang terjadi. Â Pembelajaran atas fenomena yang ada biasanya dihubungkan dengan teori-teori yang sudah mapan dan diakui kebenarannya. Langkah ini tidak salah namun mungkin sebagai bentuk kemalasan diri untuk menelusur pada basic pengetahuan yang ada dan diberikan oleh Sang Pencipta jarang sekali dilakukan.
Kebiasaan diri yang selalu menyunting karya orang lain bahkan menjadi prioritas atau bahkan rujukan primer dan mungkin dikatakan hal yang paling valid dan ilmiah (science method). Â Namun ketika diri hanya berargumen "kata orang" apakah ini sebagai bentuk pemahaman dan menunjukkan diri luluh dalam makna? Â Maka tidak heran jika prilaku diri selalu meniru orang lain akibat kebiasaan yang seperti itu bahkan mungkin dapat dikatan bahwa diri hidup dalam diri orang lain.
Demikian juga dalam hubungannya dengan prosesi ibadah puasa di bulan Ramadhan ini. Rujukan-rujukan yang ada dan selama ini digunakan sebagai dasar dalam beraktivitas memang sebuah 'kebenaran". Â Karena malasnya diri untuk membuka-buka buku atau kitab yang ada menjadikan diri memiliki pengetahuan yang dikatakan sebagai "pemahaman kata orang". Dan ketika diri memahaminya pun diri luluh dalam pemahaman kata orang bukan pemahaman yang didasarkan atas kepemilikan ilmu yang sebenarnya dimiliki.
Sehingga ibadah diri dapat dikatakan hanya seperti meniru dan tanpa luluh dalam makna. Â Sebuah aktivitas yang tanpa makna biasanya sebuah ritual fisik atau jasmani dan tidak ada unsur jiwa atau non fisik yang mendasarinya. Â Ibarat melakukan puasa hanya sekedar ritual menahan keinginan perut dan syahwat namun melupakan hakekat inti yang ada di dalamnya. Â Sebuah kerugian manakala diri bertindak seperti ini.
Luluh dalam Makna
Kekosongan salah satu sisi atau bagian akibat diri melupakan hakekat keseimbangan yang harus diraih setiap diri manusia menjadikan diri hidup dalam orientasi yang kurang benar. Â Ketidak benaran ini sebuah kerugian yang diluar kendali diri akibat dari kemalasan dalam belajar untuk menjadi diri manusia yang sebenarnya. Karena diri tidak pernah mau mencari keseimbangan karena sangat percaya dengan pendapat orang lain atau lebih parahnya jika hanya percaya pada "bisikan" saja.
Tidak mungkin pemahaman orang lain disampaikan ke khalayak umum mulai dari muatan motivasi sampai proses menemukannya sebuah pemahaman itu. Â Karena ibarat sebuah masakan yang disajikan adalah hidangan yang lezat dan resep serta cara memasaknya dengan benar, namun mereka akan menyembunyikan hal hal yang dianggap tabu untuk disampaikan atau disajikan. Â Maka yang nampak adalah hal yang spektakuler dan enak saja yang pantas dan bernilai.
Padahal mereka menemukannya setelah diri luluh dalam makna yang terdalam dengan disertai keseimbangan antar keburukan dan kebaikan. Â Dengan kata lain bentuk keseimbangan tidak dimunculkan karena yang dimunculkan adalah kritikan atas kondisi sebelumnya saja. Â Maka tugas diri harus beraktivitas seperti mereka dalam memahami pengetahuan yang akan digunakan sebagai dasar untuk aktivitas dalam kehidupan diri kita.