Sering kali diri mendengar dan sudah menjadi pemahaman bahwa puasa adalah bulan penuh kemuliaan sebagai sebuah kemudahan diri untuk mendekatkan diri kepadaNYA. Sebagai sebuah kemudahan yang diberikan kepada diri kita seharusnya menjadikan motivasi diri untuk menggali makna yang terdalam dari hakekat waktu tersebut.  Bukan sekedar kemudahan yang terasa ringan dalam diri menjalankan ibadah namun ada sesuatu hal lain yang  ada dibelakangnya.
Banyak kemudahan dan keringanan yang diri rasakan dalam beribadah.  Kadangkala sebuah ritual ibadah bagaikan sesuatu yang berat sebetulnya jika dilakukan diluar bulan puasa  namun terasa ringan dan tanpa beban diri lakukan.  Tanpa sebuah kesadaran mungkin ini dianggap sebagai sebuah hal biasa dan sebagai keutamaan bulan puasa.
Mungkin diri merasakan itu dan selama ini menganggap sebagai hal yang biasa dan umum tanpa berpikir lebih dalam akibat dari kondisi pemahaman y ang sudah terpenjara. Â Hal ini didukung oleh kondisi atau budaya yang ada disekitar kita bahkan di legalisasi dengan aturan-aturan baik yang tertulis ataupun tidak tertulis. Â Sehingga menjadikan diri terkekang bagaikan kuda yang mengikuti perintah dari kusir yang mengendarainya.
Apakah diri berperilaku seperti itu? Padahal diri manusia dilengkapi dengan akal pikiran yang seharusnya mengerjakan sesuatu bukan berdasarkan atas kata orang  dan berperilaku atas pemahaman yang dimiliki.  Pencarian kebenaran atas pemahaman yang selama ini sudah menjadi tradisi dan kebiasaan dalam ibadah (khususnya) dibulan puasa ini haruslah menjadi tugas sebagai bentuk sebuah "tartil dari tadarus" yang semakin giat dilakukan di bulan puasa.
Jika diri melakukan tadarus yang benar maka tidak hanya sekedar "mengkhatamkan" yang dibaca dalam tadarus melainkan mengkhatamkan pemahaman agar diri mampu menuju hakekat diri yang sebenarnya. Â Karena setiap bacaan yang dibaca akan digali dan dipahami sebagai sebuah jalan untuk menuju Sang Tercinta. Â Namun manakala diri tak menemukan pemahaman maka bukan jalan yang diperoleh hanya sekedar air penghapus rasa dahaga sesaat saja.
Tadarus Kehidupan Jalan Mencari Cinta
Tidak ada maksud menyalahkan pemahaman yang ada dan selama ini sudah menjadi pijakan dalam berperilaku serta menjadi pegangan diri dalam melaksanakan ibadah puasa. Â Dan pemahaman yang ada sekarang mungkin sebuah kebenaran yang sudah digali oleh para nenek moyang. Namun diri hanya mengajak untuk semakin lebih menerima makna dari bulan puasa sebagai jalan mudah dalam beribadah. Â
Karena tidak mungkin Sang Pencipta memberi kemudahan yang sekedarnya tanpa ada maksimalisasi nilai dari apa yang mudah tersebut. Â Maka penggalian atas siratan yang tersurat haruslah dilakukan dengan selalu berpegang pada apa yang di baca (Al Qur'an). Â Hal ini dilakukan agar diri tidak menemukan kesesatan makna dari apa yang ditemukan dalam tadarus yang dilakukannya.
Seperti sebuah kebiasaan diri yang selalu memikirkan hasil yang akan dicapai dan bukan pada prosesnya.  Hal ini dicontohkan seperti seumpama diri berpergian naik kendaraan maka diri sudah memikirkan secepatnya sampai ditempat tujuan bukan pada proses perjalanannya.  Kebiasaan ini menjadikan diri tak  mampu menangkap apa yang ada dalam perjalanan bahkan sampai rambu-rambu pun dilanggarnya agar bisa segera sampai pada tujuan.
Kebiasaan seperti ini hal yang biasa dilakukan dalam diri membaca atau ber "tadarus".  Hal ini dilakukannya agar bisa dapat segera selesai bahkan bisa bolak-balik  khatam tanpa memahami proses perjalanan (apa yang dibaca) dan melanggar aturan-aturan yang ada agar dapat dikatakan sebagai juara.  Maka tugas diri harus memiliki kesadaran agar diri mampu menangkap jalan mencari cinta dengan aktivitas tadarus tersebut
Dengan kesadaran maka diri akan menemukan makna yang tertanam dari salah satu kegiatan perjalanan yang dimudahkan oleh Sang Pencipta. Â Makna yang tertangkap dari kebiasaan yang selama ini kurang disadari dalam diri kita adalah sebagai berikut: