Sebuah perenungan dengan berpikir dengan logika  dan perasaan yang ada dalam tubuh kita tentang motivasi atas kejadian dan peristiwa yang dijalani dan dilewati selama hidup di kehidupan di dunia ini.  Hal ini bukan berarti mengajak diri untuk menggunakan dominasi indrawi (logika atau perasaan) sebagai pisau bedah atas tindakan yang sudah kita lakukan.  Namun sekedar untuk mencari alasan atau semangat dan motivasi yang ada dibalik peristiwa dan tindakan yang sudah kita lakukan selama ini.
Kehidupan yang selama ini kita nikmati sebetulnya adalah untuk mencari apa? Â Apakah diri memang hidup hanya seperti orang-orang berpikir ala Moslow dengan lima tingkatan mulai dari 1) kebutuhan fisiologis; 2) kebutuhan rasa aman; 3) kebutuhan akan cinta dan kebersamaan; 4) kebutuhan harga diri; dan 5) kebutuhan aktualisasi diri. Â
Motivasi hidup ini memang menjadi semangat diri dalam kehidupan yang dapat dipikirkan dan diterima secara logis oleh setiap diri manusia.  Namun apakah tidak pernah diri sadar bahwa sebetulnya peta perjalanan ini  menuju pada individu manusia yang bergerak menuju self interest atau titik individualitas akibat kematangan kepribadian diri seorang manusia.  Dan akan menjadi bahaya ketika ini menjadikan fokus perjalanan diri dalam mengarungi kehidupan tanpa ada sentuhan lain yang mampu menyeimbangkannya.
Pemahaman yang menjadi penyeimbang ini adalah sentuhan lain yang berpijak pada hakekat diri sebagai manusia yang sesungguhnya. Maka perlu kiranya diri untuk mencari penyeimbang pemahaman yang berbeda dan dapat digunakan untuk menjadi dasar di dalam motivasi atau semangat diri menjalani sisa umur di kehidupan di dunia ini. Â Penyeimbang ini adalah bentuk yang menjadi "as" motor diri manusia untuk berpikir dan memiliki rasa tentang hal yang benar dan salah dengan langkah yang diambil atas tindakan dalam kehidupan sehari hari.
Mengenal Sumber Semangat diri
Ibarat sebagai sebuah kendaraan bermotor bahwa diri kita hidup membutuhkan bahan bakar. Â Bahan bakar inilah yang merupakan semangat diri untuk melakukan aktivitas dalam kehidupan. Â Dan wujud dari bahan bakar ini adalah niat yang berasal dari pemahaman atau pengetahuan yang diri miliki atas segala kegiatan yang akan dilakukan. Â Ketika niat adalah hal yang baik pasti akan menghasilkan hal yang baik dan demikian juga sebaliknya ketika niat adalah dengan pemahaman dan tujuan yang salah maka akan menjadi diri "rusak" walaupun mungkin tujuan akan tercapai.
Semangat atau motivasi diri yang hanya didasarkan pada satu sisi  atau hanya untuk kepentingan kehidupan di dunia biasanya hanya berpikir pada kebutuhan yang bersifat membumi.  Hal ini berarti bahwa diri yang memang berasal dari tanah maka agar tumbuh logika diri berpikir akan bersifat fisik atau dengan bahasa lain adalah bersifat materialitas karena berhubungan dengan keduniawian saja.
Semangat yang demikian ini (membumi) adalah semangat yang bersifat negatif karena tidak pernah berusaha untuk mendekatkan diri pada keseimbangan kehidupan dikarenakan tidak pernah akan mencapai "titik diri yang sesungguhnya". Â Karena semangat muncul akibat dari dominasi keinginan diri untuk memenuhi rasa kepuasan, rasa kesenangan dan kenikmatan dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Â
Semangat yang negatif ini dapat dikatakan sebagai semangat hidup yang memperjuangkan "nilai-nilai dari sikap yang rendah" dari diri  manusia.  Maka tak ubahnya diri seperti bukan manusia yang sesungguhnya atau makhluk yang sempurna karena akan semakin jauh dari titik keseimbangan.
Semangat negatif ini muncul karena hakekat diri sebagai manusia yang seharusnya menggunakan "hati" dalam langkah kehidupannya tidak pernah digunakan. Â Hati diri ibarat membatu atau berselimut dengan kain yang tebal. Â Akibatnya diri dalam beraktivitas tidak pernah memikirkan "benar atau salah" karena hanya berpikir bagaimana tiga rasa (puas, senang, dan nikmat) dapat tercapai.
Tindakan yang muncul dari semangat negatif yang menjadi bahan bakar dalam kehidupan adalah aktivitas yang membumi yang didasarkan atas kebutuhan fitrah biologis atau jasmaniah.  Ketika mengejar kebutuhan jasmaniah ini maka diri akan terbalut dengan rasa iri dan dengki yang menjadi pakaian dalam kehidupan diri.  Sehingga langkah yang dilakukan pun tidak jarang selalu  berhubungan aktivitas yang bersifat destruktif.