Sebuah renungan muncul ketika  memasuki bulan Rabi'ul awal, terlebih diperingati sebagai hari besar yang dianggap oleh masyarakat di Indonesia sebagai hari libur nasional.  Gegap gempita perayaan muncul terutama di masyarakat jawa diikuti dengan perayaan sekaten (Solo dan Jogja) dan  di lain tempat dengan adanya bacaan-bacaan atau upacara-upacara khusus untuk menyambut hari besar tersebut.Â
Ketika menyadari dalam sebuah perenungan yang mendalam apakah hanya sekedar seperti ini diri kita menyambut tanggal 12 Rabi'ul awal ataukah harus lebih dari itu. Â Jika diri hanya sekedar ritual seperti ini pasti tidak dapat merasakan "greget" apapun yang tersa dan tidak akan mungkin menemukan makna yang dalam terkandung di dalamnya. Â Ataukah diri sudah lupa dengan peristiwa besar yang terkait dengan tanggal tersebut? Mungkin sebuah kerugian yang besar karena habisnya waktu yang kita alami setiap bertemu dengan hari besar tersebut.
Perenung diri sambil mendengarkan "shalawat berzanji" yang bercerita tentang kehidupan Nabi Muhammad Saw dan mengisahkan sifat-sifat mulia beliau agar dapat menjadi pedoman hidup serta teladan bagi manusia. Â Sebuah tuturan cerita yang komplit dalam sebuah syair, banyak yang paham arti nya namun tidak banyak yang mampu menangkap makna dan pelajaran dari "shalawat berzanji" tersebut. Â Padahal mungkin jika kita "baca" dengan serius tetesan air mata dapat menetes ke pipi diri kita dengan pelajaran yang hebat ini.Â
Beberapa hal muncul dalam goresan kertas dimulai dengan dimulainya syair sampai berakhirnya syair itu adalah: pertama, Kelahiran nabi. Â Makna yang umum diterima oleh diri kita adalah bahwa Muhammad dilahirkan dalam kondisi "anak yatim" yang secara fisik bahwa diri beliau dilahirkan tanpa dapat melihat bapaknya yang merupakan pelindung dan pemberi rasa aman (termasuk nafkah) bagi seorang anak. Â Ketika kata yatim diri maknai secara mendalam maka timbul beberapa makna yang mungkin juga dirasakan oleh manusia yang sudah dewasa. Â Â
Ketika memaknai dengan dewasa termasuk sebagai "anak" karena diri melihat bahwa selama ini tak pernah tersentuh oleh pendidikan agama yang mendalam. Â Hal ini mengakibatkan diri perlu merasakan sentuhan dan siraman ajaran agar diri terbebas dari makna yatim. Â
Kelupaan diri dalam mempelajari inilah yang mengakibatkan diri menyimpulkan kebanyakan diri adalah anak yang yatim yang memang perlu untuk diberi nafkah pemahaman tentang ajaran agama yang benar. Â Pendapat anak yatim tidak hanya untuk anak anak juga banyak diungkapkan oleh para pakar fiqih seperti Ahmad Mustofa Al-Maraghi.
Ketidak pernah atau ketidak benar pemahaman ajaran yang selama ini kita terima mengakibatkan diri tidak pernah memahami "ortu" atau hakekat diri sebagai manusia. Â Ketika ini terjadi maka tugas diri sebagai manusia tidak akan pernah tersentuh. Â Maka mungkin hidup kita hanya hidup biasa tanpa ada nilai "kemanusiaan" yang sejati sebagai makhluk pilihan yang memiliki kesempurnaan. Â Maka akan berujung diri dalam kehidupan hanya hidup tak beda dengan makhluk lain yang hanya mengandalkan pada naluri dan nurani saja.
Pemahaman ini tidak serta merta menyalahkan orang tua yang tidak pernah mengenalkan ajaran agama secara mendalam kepada diri kita. Â Namun pemahaman ini sebagai bentuk instropeksi diri agar diri tidak menjadi orang yang selalu butuh orang lain dalam hubungan dengan masalah ajaran atau masalah kehidupan. Â Kecukupan pemahaman ilmu tentang ajaran inilah yang menjadikan diri "baligh" dan siap untuk menempuh perjalanan sebagai seorang musafir yang mendapat amanah untuk hidup di dunia. Â Â
Kedua adalah pribadi yang selalu instropeksi diri sehingga dapat memiliki sifat-sifat mulia. Â Instropeksi ini muncul akibat dari "ketidak lengkapan" dan "masa keprihatinan" pribadi Muhammad sehingga diri beliau selalu bisa berpikir untuk selalu mandiri dan pasrah kepada Tuhan atas permasalahan yang dihadapi. Â
Dampaknya beliau selalu berhati-hati dalam bertindak dengan memaksimalkan indra pemberian Tuhan dan bukan sebagai pribadi yang berkeluh kesah atas ketidakpastian hidupnya. Â Output dari tindakan yang demikian maka Muhammad menjadi pribadi yang memiliki prinsip hidup yang baik dan menghasilkan prilaku diri manusia yang memiliki sifat-sifat terpuji (hingga di angkat menjadi nabi keempat sifat itu menjadi sifat yang diteladani oleh ummatnya).
Perenungan diri yang diambil adalah sebagai bentuk motivasi diri agar diri selalu kuat dalam mempertahankan prinsip hidup. Â Prinsip hidup akan mudah goyah jika diri dalam masa "kekeringan/kesulitan". Â Maka upaya diri yang dilakukan adalah selalu "baca" dan "belajar" ilmu yang baik dan sesuai dengan Buku Pedoman yang diberikan oleh Sang Pencipta. Â Karena pemahaman yang baik dan benar akan menjadikan diri menjadi manusia yang tangguh dalam menghadapi setiap kondisi yang dihadapi serta bukan menjadi diri manusia yang mudah berpindah prinsip hidup agar tidak mengalami masa "kekeringan".Â