Mohon tunggu...
Muhajir Arrosyid
Muhajir Arrosyid Mohon Tunggu... dosen -

Warga Demak, mengelola tunu.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Musik Itu Seperti Pakaian

29 Desember 2014   02:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:17 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ada pepatah Jawa ‘ajining raga saka busana’, maksudnya kita harus menjaga penampilan agar kita berarti. Apa yang kita kenakan baik yang tersampai secara langsung maupun melalui media sosial merepresentasikan siapa diri kita. Misalnya saja kalau kita selalu mengunggah gambar barang-barang mewah yang kita miliki ke media sosial maka orang yang melihatnya akan menangkap kesan kalau kita sombong, suka pamer.

Bagi para politisi, musik bisa dikenakan seperti pakaian yang menempel pada diri dan membantu orang lain merumuskan siapa diri kita, menjadi alamat siapa diri kita. Dalam sejarah Indonesia terdapat tiga sumbu yang saling mengait yaitu musik, rakyat, dan kekuasaan.

Pertama, musik. Musik dengan beragam jenisnya telah menyatu dalam diri masyarakat Indonesia. Musik dapat dinikmati di rumah, sawah, bahkan penjara. Melalui media TV, radio, komputer, bahkan Hand Phon. Setiap hari kita mengantongi musik. Perkembangan musik naik turun. Di suatu masa musik keroncong sangat digemari, di masa yang lain ditinggalkan. Di suatu masa musik rock sangat digemari, di masa yang lain musikini tidak ada yang melirik. Demikian juga dengan citra, citra musik juga berubah-ubah.Pernah dangdut diidentikkan dengan musik kampung yang lirik-liriknya berisi derita hidup, kemiskinan, dan pesimisme, di masa yang lain dangdut dikenal sebagai musik kegembiraan.

Kedua, rakyat. Musik memiliki penggemar dan segmen masing-masing. Musik dangdut dikenal sebagai musik rakyat. Liriknya yang naratif bercerita tentang kehidupan sehari-hari seperti sabun mandi, gubuk derita, gelandangan, cinta yang tidak disetujui orang tua, dll. Musik dangdut juga pantas didendangkan pada acara-acara hajatan perkawinan, sedekah laut, sedekah bumi sambil bergoyang. Sedangkan musik rock dikenal sebagai musik anak muda karena karakter musiknya menghentak, liriknya berisi teriyakan perlawanan menentang kemapanan khas anak muda.

Ketiga kekuasaan. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia saat ini kekuasan harus diraih dengan cara-cara politik. Siapa yang mampu merayu rakyat ia yang akan mendapat mandat dari rakyat. Saat masa merayu, banyak baju yang dikenakan oleh politisi.Baju itu bisa agama, asal daerah, hobi dan lain sebagainya. Pakaian tersebut dikenakan agar dirinya digolongkan satu kelompok tertentu. Misal saja, saat mendekati masa kampanye seorangpolitisi menampakkan kesalehannya dengan tujuan ia mendapatkan dukungan dari sesama pemeluk agama. Saat kampanye seorang politisi mengenakan baju adat suatu daerah sebagai pengumuman bahwa dirinya adalah orang dari daerah tertentu dengan tujuan akan didukung oleh orang se-daerah. Identifikasi diri seorang calon penguasa juga terhadap selera musik. Pemilihan jenis musik oleh politisi adalah salah satu usaha untuk merayu rakyat juga. Dari uraian di atas dapat kita lihat keterkaian antara musik, rakyat, dan kekuasaan.

Dalam Kendali Politik

Pada pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1950 seperti diungkapkan oleh Suzan Piper dan Sawung Jabo (1987), kekuasaan menata selara musik rakyat dengan alasan-alasan tertentu. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Presiden Sukarno pada pidato 17 Agustus. Dalam pidato berjudul ‘Manipol Usdek’ tersebut Sukarno melarang musuk ngak ngik ngok Rock’n Rol. Pelarangan ini sebagai antisipasi menguatnya pengaruh Barat terhadap kebudayaan Indonesia.

Bangsa Indonesia pada awal kemerdekaannya masih membutuhkan semangat. Maka lagu-lagu romantik dan cengeng ala Barat yang menguras air mata, yang dianggap memperlemah semangat revolusi pada tahun 1960-an juga dilarang. Lagu pop yang dilarang tersebut berjudul ‘Patah hati’ karya Rachmat Kartolo.

Memburuknya hubungan diplomasi dengan negara-negara Barat juga berdampak kepada pemusik seperti Koes Bersaudara. Karena bergaya dan menyanyikan lagu-lagu Barat membawa mereka ke penjara selama 100 hari sebelum dibebaskan setelah peristiwa 30 September 2013.

Bagaimana dengan masa Suharto? Di masa presiden Suharto muncul fenomena dangdut. Jenis musik ini pada masa kemunculannya menjadi bahan olok-olok. Seperti diungkapkan oleh Andrew N. Weintraub musik dangdut dilecehkan sebagai bentuk rendah budaya populer pada awal 1970-an, dikomersialkan pada1980-an, dimaknai sebagai ragam musik musik pop nasional dan musik global pada 1990-an, dan terlokalisir pada lingkup komunitas pada tahun 2000-an (2012).

Dari yang mulanya dilecehkan tersebut kemudian dangdut didekati oleh penguasa orde baru. Dangdut dianggap dapat digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Dangdut memiliki magnet yang besar karena digemari oleh rakyat banyak. Hingga dangdut digembar-gemborkan sebagai musik rakyat. Para politisi orde baru mendekat pada dangdut dengan berbagai cara, dengan pernyataan-pernyataan seperti dikatakan oleh Basofi Sudirman “Dengan dangdut kita sukseskan pembangunan,” dan Mantan Sekretaris Negara Moerdiono mengatakan “Dangdut musik kita, musik rakyat kita.” Hingga hari ini dangdut masih bersingungan dengan politik, setiap ada pemilu dangdut selalu dihadirkan untuk mengumpulkan massa. Namun pada masa orde baru, dangdut bukannya tidak mendapat intervensi dari pemerintah. Pemerintah melakukan seleksi lagu yang boleh masuk atau disiarkan stasiun televisi satu-satunya pada waktu itu, TVRI. Roma Irama yang lagunya dikenal kritis sempat dicekal beberapa tahun tidak tampil di televisi.

Bagaimana ketersinggungan dangdut dengan kekuasaan padaperpolitikan akhir-akhir ini? Dangdut masih digunakan sebagai magnet pengumpul massa, namun citra dangdut tidak lagi digunakan. Hal ini kemungkinan dikeranakan beberapa artis dangdut yang terlibat skandal perselingkuhan dengan pejabat dan pengusaha. Beberapa koruptor juga diketahui memiliki istri kesekian dan dikabarkan juga penyanyi dangdut. Hal ini semakin membuat citra dangdut terpuruk sehingga citranya tidak lagi digunakan oleh politisi. Presiden terpilih Joko Widodo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memilih mengidentikkan dirinya sebagai rocker, penggemar rock. Citra rock yang pemberontak, muda, dan berani memang lebih menjual pada perpolitikan saat ini. Anda suka musik apa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun