Mohon tunggu...
Muhajir Arrosyid
Muhajir Arrosyid Mohon Tunggu... dosen -

Warga Demak, mengelola tunu.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bung Tomo, Mencintai Negeri dengan Kritik

10 November 2016   17:07 Diperbarui: 10 November 2016   17:17 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagaimanakah kita memandang kepada orang yang selalu mengkritik? Tentu saja kita jengah karena selalu dikritik. Di masa kecil, kita selalu jengkel karena ibu yang selalu bawel. Namun, tidak sadarkah kita bahwa orang yang mengkritik itu adalah orang yang sayang pada kita. Ia tidak ingin kita terperosok pada jurang yang lebih dalam. Jalan kritik inilah yang dilakukan oleh Sutomo atau Bong Tomo, tokoh yang yang sangat terkenal dalam peristiwa 10 November yang kemudian ditetapkan sebagai hari pahlawan. Bukan tanpa resiko, karena kerusterangannya dalam menyampaikan kritik ia tersingkir di pemerintahan Sukarno dan dipenjara di pemerintahan Suharto. 

10 November selalu dikaitkan dengan tokoh asal Surabaya, Bung Tomo. Ia mengisi ruang-ruang imaji kita tentang hari pahlawan. Perannya tercatat di buku pelajaran, diorama museum, dan monumen. Ia dikenal sebagai propagandais yang menggelorakan semangat arek-arek Surabaya untuk melawan penjajah melalui radio pemberontakan. Namun, kali ini saya tidak akan membahas peran yang sudah banyak dibicarakan tentang sosok penerima penghargaan Pandu Garuda dari Kepanduan Bangsa Indonesia ini. Hal lain yang tidak kalah unik dari dirinya adalah caranya mencintai dan menjaga negeri ini. 

Sikap mbeling  Bung Tomo sudah dimulai sejak awal. Ia adalah orang yang bersikeras membela keyakinannya. Kebengalanya ditunjukkan dengan caranya memberi nama organisasi yang dibentuknya dan radio yang dia dirikan. Ia memberi nama radio tempat untuk propaganda dengan nama ‘radio pemberontakan’, terdengar garang dan beraroma perlawanan. 

Ia juga menamai organisasinya dengan nama Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), menyempal dari kelompok dominan yang lebih dulu ada yaitu Pemuda Republik Indonesia (PRI). Akibat perbuatannya itu Bong Tomo sempat ditangkap oleh laskar seperjuangannya sendiri karena dianggap memecah belah organisasi. Bung Tomo berdalih, BPRI ia dirikan untuk menampung rakyat seperti tukang becak, buruh bangunan, dan tidak dibatasi umur. Jadi BPRI tidak menganibal PRI tetapi melengkapi. 

Setelah proklamasi sikapnya juga tidak pernah mau kompromi. Suatu ketika diberi pilihan oleh Amir Sjarifudin, pernama menteri kala itu melalui telegram. Isinya “Harap suadara pilih, tetap duduk dalam pimpinan TNI atau tetap berpidato di radio.” Bung Tomo memilih berpidato di radio karena tidak percaya Belanda akan menepati janji tidak menyerang lagi. Akibatnya Bung Tomo hanya tiga bulan menjadi Jendral. 

Bong Tomo adalah sosok yang mencintai dengan caranya sendiri. Ia sayang dengan Sukarno. Ia sedih sekali ketika Sukarno melakukan kesalahan. Dan dia tidak segan memperingatkan langsung kepada orang yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri itu. Kritik Bung Tomo kepada Bung Karno tidak hanya masalah negera tetapi juga masuk ke masalah pribadi. Diceritakan dalam hasil wawancara dengan istrinya, Sulistina di majalah Tempo edisi 15 November 2015, Bung Tomo menanyakan kepada Bung Karno langsung ke istana terkait rencana Bung Karno memperistri Hartini, perempuan asal Salatiga yang sudah bersuami. Bagi Bung Tomo itu aib karena merusak pagar ayu. 

Kritik itu berujung panjang. Hubungan antara kedua Bung yang mulanya akrab seperti kakak beradik itu menjadi pudar. Imbasnya merambah ke soal politik. Bung Karno menghabisi peran politik Bung Tomo sebagai anggota dewan seiring membubaran DPR melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sukarno juga membubarkan PRI, partai yang didirikan dan di pimpin Bung Tomo yang hanya meraup dua kursi di pemilu 1955. 

Bung Tomo juga kritis terhadap pemerintahan Suharto dan Golkar, partai yang pada mulanya ia dukung. 1 April 1978 ia ditahan selama setahun dengan tuduhan subversif. Kritik yang dilayangkan Bung Tomo kepada Suharto melalui tulisannya dan pidato-pidato yang dilakukannya menurut William H. Frederick dalam In memoriam Sutomo menyangkut masalah korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Bong Tomo dianggap penghasut dan provokator, ia mengeluakan istilah tien persen. Istilah itu menyindir ibu Negara pada waktu itu yang konon suka meminta komisi sepuluh persen pada setiap proyek.

Bung Tomo juga mengkritik Suharto karena menggunakan tentara untuk memuluskan jalan Golkar memenangkan pemilu dengan melakukan teror terhadap politisi PPP, partai kakbah yang berpotensi mengalahkan Golkar.

Kritik-kritik Bung Tomo membuat kuping teman-teman seperjuangannya yang sedang berkuasa panas, tetapi karena kritikan itu kita bisa melihat kecintaan Si Bung kepada Republik Indonesia. Selamat Hari Pahlawan, Bung. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun