Satu per satu artikel dengan topik menarik kuselesaikan dengan cepat lalu kushare di berbagai sosial media dengan cekatan. Menulis sebenarnya berawal dari rasa ketertarikan pribadi terhadap minat baca yang memuncak beberapa bulan terakhir. Ada jiwa yang hadir dan rasa yang tersampaikan di tiap petikan keyboard. Dapat kupastikan bahwa menulislah yang membuatku menjadi manusia seutuhnya, selain bersedekah lalu melihat senyum kaum duafa.
Aku pulang larut dengan jiwa yang lega setelah menghabiskan thai tea di warkop terdekat dengan menghasilkan satu artikel terbaru. Bapak bertanya tentang di mana aku menghabiskan waktu, lalu dilanjutkan dengan masukan serta nasihat. Tentang arah tulisanku, Bapak memberi arahan agar tak perlu terlalu mengambil risiko dan menulis perihal yang lebih ringan. Oh ya, beliau tahu tentang artikelku karena kadang kubagikan di grup Whatsapp keluarga.
Nasihatnya sebenarnya sangat relevan dengan kepribadian Bapak yang setahu saya tidak suka menjadi sosok kontroversial dalam masyarakat dan suka mencari-cari masalah. Sejauh ini, beberapa orang telah bercerita banyak tentang sikap Bapak yang dapat menyeimbangkan suasana dan sering menjadi penengah  serta penenang di tengah ego beberapa kepala manusia. Bapak bukan tak tahu tentang pemberontakan publik.Â
Sebab, referensiku berasal dari buku-buku peninggalan beliau pada tahun 1978 seharga seribu rupiah. Aku mendapatkannya di lemari tempat ratusan buku jenuh dalam debu. Puluhan buku yang menarik kuselamatkan agar dapat mewariskan kecerdasan beliau, sedangkan ratusan yang lain tak terlalu bersinggungan dengan harapanku. Beliau tahu banyak tapi lebih memilih hidup rukun dan damai. Kecerdasan memang tak selamanya harus tersurat. Kadang, kecerdasan justru hadir dalam moralitas dan kebijaksanaan pemiliknya.
Seiring perkembangan, jiwaku memberontak dan tak puas rasanya bila melihat kesalahan larut dalam pembiaran tanpa ada kritikan. Meski tak sempurna, paling tidak saya bermanfaat bagi masyarakat. Meski tak selamanya terjun langsung, paling tidak saya memiliki gagasan akan idealita. Saya amat setuju dengan nasihat Bapak, namun menjalankan keseluruhan dari idenya membuat rasa dan ragaku berpisah jauh. Maka kuambil pelajaran, bahwa opini-opiniku harus berada dalam garis argumentasi yang tepat. Tak menyimpang. Mungkin seperti itu keinginan beliau.
Semoga kasih sayangnya tak habis menerangi masa depanku yang masih sangat abu-abu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H