Selamat datang bulan Ramadan, selamat datang bulan penuh ampunan. Hari-hari yang didambakan jutaan penduduk bumi, dari anak-anak yang tak mengerti esensi, muda mudi yang mencari jati diri, sampai lansia yang sibuk meminta pemaafan Rabbnya.
Tak dapat dimungkiri, Ramadan membawa manusia kepada kehidupan yang berbeda dari biasanya. Mulai dari kondisi fisik, liburnya beberapa aktifitas utama, dan jadwal yang berbanding terbalik dari hari-hari biasanya.Â
Saat ini pemerintah dinilai bijak dalam bertindak dengan meliburkan aktifitas-aktifitas utama dari masyarakat pada umumnya. Menyokong penuh kualitas puasa seseorang. Bulan Ramadan betul menjadi kolaborasi yang baik antara pemerintah dan yang diperintah.Â
Pemerintah meliburkan, sedang masyarakat berlomba memantau warung yang nakal di siang hari. Walaupun saat ini menjadi bahan diskursus berkepanjangan, patut diapresiasi kerja sama yang baik dalam menyucikan bulan penuh berkah ini.
Liburnya masyarakat dimaksudkan untuk menjaga kualitas fisik dan keimanan sebagai pengejawantahan puasa yang kelas dan berkualitas. Agar waktu senggang diisi dengan amaliyah yang bernilai lebih di mata Tuhan.
Di abad ke 15 dari puasa, perkembangan keimanan secara umum tidak meningkat dengan signifikan oleh karena amal yang dijanjikan sekalipun. Kurangnya penyerapan akan nilai-nilai puasa yang sarat akan makna menggelayut pada hati kaula muda. Mungkin masih begitu melekat di benak kita ketika masih duduk di sekolah dasar, membawa buku Amaliyah Ramadhan setiap saat meskipun sebenarnya terjadi pemalsuan tanda tangan sejak dini. Masih melekat di pikiran kita begitu nikmatnya menyusuri jalan di pangkal pagi saat matahari masih malu untuk menyinarkan diri.
Sebenarnya kita adalah insan yang tetap produktif dalam berpuasa, namun luntur karena ikut dalam mainstream zaman yang nonproduktif ketika bulan Ramadan menyingsing. Hal yang lumrah di masyarakat jika semangat produktif kanak-kanak akan luntur seiring dengan peremajaan usia. Semakin dewasa, kebanyakan masyarakat semakin jauh dari hakikat puasa. Bukan melawan hawa nafsu, namun mematikan hawa nafsu. Dengan cara apa? Dengan cara mengistirahatkan diri dari azan subuh berkumandang sampai buka menjelang. Sungguh inilah realitas puasa yang mengalami deviasi esensi.
Pembaca yang budiman, puasa bukanlah waktu untuk bermalas-malasan. Nabi Muhammad saw. berikut para sahabatnya senantiasa menjadikan Ramadan sebagai event tahunan yang amat dinantikan. Khatam Quran puluhan kali, menyumbang sebanyak mungkin, sampai pada Perang Badar dilakukan hanya untuk menuntut pahala sebanyak mungkin. Puasa bukan alasan yang tepat untuk menghabiskan waktu dengan tidur sampai azan magrib terdengar.
Salah satu tujuan berpuasa adalah untuk merasakan hal yang sama dengan mereka yang kekurangan. Saya rasa dengan produktif dalam berpuasa, kita betul-betul dapat merasakan indahnya bersama mereka yang serba kekurangan meskipun tak murni berada di samping mereka. Keletihan fisik akan terbayarkan ketika waktu buka puasa tiba. Berbeda dengan mereka yang tidur seharian. Ketika waktu berbuka puasa tibapun, mereka merasa tak terlalu letih dan haus.
Untuk aktivis-aktivis pembela HAM dan keadilan, maka momentum puasa tak boleh terlewatkan dengan ketidakadilan. Apabila ribuan person bersusah payah menahan dahaga dan tetap menjalankan aktifitas sebagaimana mestinya, bukankah sebuah ketidakadilan apabila kita yang mengaku muslim menghabiskan waktu dengan tidur sepanjang hari?
Pembaca yang budiman, sekalipun menjalankan puasa dan ibadah wajib lainnya, sikap tidak produktif juga tidak dapat dibenarkan. Jika diibaratkan, tentunya ini senada dengan mengakui membaca status Whatsapp sebagai literasi; mengakui bermain gim sebagai pengasah otak; dan mengakui seseorang yang sangat aktif bermedia sosial sebagai sosialis tingkat tinggi. Semuanya benar, namun tidak dapat dibenarkan sepenuhnya.