Media sosial membuat pemikiran saya lebih sedikit terbuka dengan berbagai macam karakter menarik dari berbagai akun. Saya selalu menyaksikan komentar beragam dari isu-isu yang berkembang di masyarakat silih berganti. Isu itu seperti letupan kembang api yang tak terhingga.
Katanya, orang yang sering menulis itu memiliki kepekaan yang lebih daripada yang lainnya. Untuk itu, saya mencoba lebih peka terhadap berbagai kasus di berbagai media.
Saya mencoba lebih cermat dalam melihat kasus hukum belakangan ini. Walaupun tidak lahir dari orang hukum dan tidak terlahir menjadi pribadi yang bergerak di bidang hukum, saya juga punya opini terhadap kasus hukum seperti orang biasanya. Hanya saja, saya memilih untuk lebih berpikir jernih daripada asal berkomentar pada kolom komentar jejaring sosial.
Menurut saya, ada sebuah penyakit sebagai dampak dari kebebasan berpendapat di Indonesia melalui jejaring sosial. Penyakit itu adalah ocehan yang mengharuskan pemerintah dan penegak hukum berpikir lebih untuk mengeluarkan hukum atas suatu masalah. Pekerjaan pertama adalah bahwa pemerintah berdasarkan otoritasnya, harus mengeluarkan hukum demi kemaslahatan umat dan bangsa. Pekerjaan kedua adalah memutar otak untuk melayani ocehan tak bermutu kritikus media sosial yang tak henti-hentinya menolak dengan argumen murahan.
Mari sedikit bernostalgia, ketika isu dinaikkannya harga rokok mencuat di berbagai media. Begitu banyak penolakan dari masyarakat yang katanya mendambakan Indonesia menjadi negara sehat dan maju dalam segala hal. Pemerintah justru menuai banyak kritikan dengan alasan-alasan yang kurang logis.
Mulai dari bahwa rokok sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat menengah ke bawah, sampai ketakutan akan munculnya tindakan kriminal akibat kelangkaan rokok. Sebaliknya, ada gerakan yang muncul untuk melegalkan narkotika di Indonesia dengan alasan medis maupun alasan bullshit lainnya.
Mari bernostalgia kembali, ketika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merumuskan undang-undang penyiaran terbaru, yang dimana KPI mencoba melakukan sensor terhadap adegan yang mengandung pornografi dan kekerasan. Respon dari masyarakat adalah menertawakan konsep tersebut dengan alasan bahwa porno atau tidaknya sesuatu tergantung dari persepsi masing-masing. Sebaliknya, nyatanya pengguna internet Indonesia memiliki prestasi di dalam bidang akses pornografi, yaitu ranking 3 di bumi.
Melihat dari kasus di atas, terlepas dari kebijakan politis, sebenarnya pemerintah menginginkan kemaslahatan untuk seluruh warga negara. Tetapi kenyataannya, justru masyarakat yang terkesan menolak.
Komentar terburuk warga media sosial adalah berusaha menyalahkan inisiatif preventif  pemerintah karena kompleksnya problem. Contoh yang paling nyata adalah, ketika pemerintah membuat peraturan baru tentang penilangan kendaraan, masyarakat justru mencari pembenaran agar hukum ini dianggap tidak relevan untuk diterapkan. "Banyak pelanggar, mengapa mesti saya yang ditilang?", katanya.
Komentar itu juga berlaku pada kebijakan KPI kemarin. Selalu saja ada komentar "Peraturan ini salah, mengapa mesti film ini yang disensor? Mengapa sinetron tidak?".