Akhir tahun 2018 sampai dengan awal tahun 2019 adalah masa-masa sulit bagi masyarakat Indonesia. Letak geografis Indonesia yang beriklim tropis tentunya sangat berpengaruh dengan kedua musim yang ada di Indonesia, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim penghujan sebagaimana data BMKG (Badan Meteorologi Dan Geofisika) menunjukkan bahwa awal musim penghujan dimulai pada bulan September 2018 sampai dengan Maret 2019. Tentunya musim ini menghendaki perubahan pola hidup masyarakat Indonesia secara temporer. Sebelumnya, mereka menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi utama. Namun ketika musim penghujan tiba, mereka berbondong-bondong menggunakan kendaraan yang memiliki atap agar tidak terkena rintik air hujan. Tidak hanya itu, masyarakat Indonesia juga harus siap secara fisik dengan perubahan cuaca yang ada.
Sudah menjadi hal yang lumrah apabila masyarakat berkumpul di tempat-tempat pengobatan dikarenakan faktor fisik yang kurang siap bergulat dengan peralihan cuaca. Kita dapat melihat dengan seksama betapa banyaknya pasien yang berada di rumah sakit ataupun puskesmas terdekat. Alhasil, tempat pengobatan dipenuhi oleh pasien dengan berbagai keluhan.
Menyikapi peralihan musim tersebut, semestinya sudah menjadi bahan untuk menyiapkan diri bagi seluruh perangkat medis. Dari teknis maupun non-teknis. Dari segi obat sampai tempat menyimpan helm agar tidak terguyur oleh lebatnya hujan. Perlu diakui bahwa ada peningkatan dari segi perlengkapan dan fasilitas serta dekorasi dari hampir seluruh puskesmas dan rumah sakit di Indonesia. Di Sulawesi Selatan, tepatnya di Kota Makassar sendiri sangat jelas terlihat. Bukan hanya soal puskesmas dan rumah sakit, tetapi kantor-kantor pemerintah terbawah sampai teratas sudah direnovasi sedemikian rupa sehingga terlihat lebih estetik dan menyejukkan. Tetapi bagaimana dengan pelayanan?
Saya yakin bahwa pemerintah  setempat selalu menyajikan program upgrading dan mengevaluasi kinerja petugas pelayanan. Namun lagi dan lagi, hasilnya hanya dirasakan di awal saja. Selalu begitu. Sepertinya pemerintah harus lebih ketat agar meningkatkan kenyamanan masyarakat.
Sudah menjadi sebuah stigma (negatif) di masyarakat bahwa pelayanan kesehatan sangat jauh dari yang diharapkan. Program 3S (Senyum, Sapa, Salam) adalah hal yang hanya tertulis dan mengisi dinding rumah sakit dan puskesmas. Sebenarnya ada beberapa rumah sakit yang menerapkan hal tersebut, tetapi saya menilai secara general. Saat pasien datang, maka tak tampak sama sekali senyum dari wajah petugas. Seolah pasien yang datang adalah sosok yang menyusahkan dan memberikan beban pekerjaan tambahan. Padahal sudah sepatutnya mereka memberi pelayanan terbaik karena untuk pasienlah mereka bekerja. Jika pasien tidak ada, maka mereka melakukan apa?
Tidak hanya pada area medis, begitu pula di dalam kantor-kantor pemerintah maupun swasta. Selalu saja mempersulit urusan seseorang. Apabila ingin bertemu dengan pejabat, maka tak tampak kejujuran dari perkataannya. Sehingga kadang seseorang memilih menunggu daripada datang pada esok hari. Sebenarnya mereka sendirilah yang membuat segalanya menjadi rumit. Belum lagi dalam proses administrasi yang semua orang sudah tahu, bahwa akan sangat sulit dalam mengurus sesuatu tanpa "orang dalam". Ayolah, kita adalah makhluk yang sama-sama memiliki kepentingan.
Dari sudut yang lain, sudah harus menjadi perhatian bersama bahwa kampus adalah tempat dengan pelayanan terburuk dari seluruhan unit pelayanan. Dari menuntut keadilan tentang nilai hasil perkuliahan, pun sampai proses pembayaran. Entah mengapa seorang admin pada kampus-kampus negeri maupun swasta berlaku selayaknya Dewa yang harus dibujuk dan merengek padanya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa senyum dan sikap ramah menjadi hal yang sangat sulit bagi seorang petugas pelayanan? Jika seseorang datang, mereka menampakkan ekspresi seolah gaji mereka tidak dibayarkan selama 3 bulan. Tetapi apabila sudah selesai, mereka justru tertawa ria bersama petugas yang lainnya. Dari pelayanan medis, pengurusan kampus, menemui pejabat, mengisi bahan bakar, bahkan saat berbelanja, senyum itu sudah hilang dari kehidupan mereka.
"Selamat datang di toko kami, selamat berbelanja". Mereka sudah tidak melihat ke arah pelanggan. Sibuk dengan sesuatu yang tidak kita ketahui. Sangat berbeda pada saat awal launching. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa semakin meningkatnya kebutuhan terhadap sesuatu, maka semakin tinggi leher petugas pelayanan.
Sudah waktunya kita berbenah. Hal ini harus kita sampaikan kepada setiap petugas pelayanan yang kita temui. Mari saling mengingatkan. Tidak usah ragu untuk menegur mereka agar bersikap sebagaimana mestinya. Â Mungkin saja keluhan kita adalah problem sosial yang umumnya dirasakan oleh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H