Mohon tunggu...
Abdul Muhaimin
Abdul Muhaimin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ikatan Cinta Masa Depan

19 Oktober 2016   21:10 Diperbarui: 19 Oktober 2016   21:27 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kupandangi bentangan sawah disamping rumahku melalui bilik jendela kamarku. Awan nampak mendung, Sejak minggu kemarin awan selalu menangis tiap hari, ia selalu menumpahkan banyak air mata untuk menghujani kami para penduduk bumi. Tak hanya awan yang enggan menerima kehadiran sinar matahari untuk membuatnya cerah. Hati ini pun serasa selalu mendung, bahkan tak jarang aku menangis dan mengumpat apa yang telah kulakukan tempo hari.

Pemandangan luar rumah yang nampak masih subuh karena keengganan sinar matahari untuk menembus kabut tebal setiap pagi akhir – akir ini, melengkapi suasana hatiku. Tiba – tiba terdengar ketukan pintu kamar dengan suara lirih memanggilku, “inu???” iya bu jawabku. Aku memaksakan keluar kamar dengan mata sembab dan langkah yang enggan. ibu menyuruhku segera mandi agar aku tak telat untuk berangkat ke Jogja. Hari ini aku berencana untuk mengkahiri liburan semester genapku dan kembali ke aktivitas kuliahku. 

“kok cepet liburaku” batinku dalam hati, sementara ibu sibuk menyiapkanku beberapa bekal yang akan kubawa ke jogja agar aku irit pengeluaran. Tanpa protes aku membantu ibu menyiapakan semua itu, meski dalam hati aku masih ingin dirumah, tiap hari memandangi bentangan sawah samping rumah. Aku tersentak saat ibu bilang “ hati – hati ya nak disana kuliah yang bener, jangan banyak begadang”. Aku mengangguk pelan.

Aku pandangi jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan, namun masih saja enggan sinar matahari meyinari bentangan – bentangan sawah samping rumah. Sambil duduk, aku sibuk menunggu balasan sms dari temanku. Entah kenapa aku teringat dengan dia, iya, dia yang beberapa bulan lalu aku minta mendengarkan kejujuranku bahwa aku mencintainya. Namun apalah daya seperti pagi inilah akibatnya, aku menjadi mendung dan murung ketika mengingat itu semua. 

Dia adalah sahabat baruku di kampus, aku sering melihatnya hingga aku mengaguminya. Namun keterpikatanku membuatku semakin sakit hati saat melihat dia terlalu dekat dengan cowok lain meskipun itu temannya. Hampir sebulan setelah aku mengungkapkan rasa itu, aku semakin sering termenung dipagi hari memandangi berbagai pemandangan untuk menghapus suntuk kaludku dalam hati. Aku semakin ingin melupakannya, bagaimana tidak?, dia terlalu membuatku sedih dengan keputusannya.

Sore ini aku tiba di Jogja, kota pendidikan dengan sejuta pesona indah bagiku. Lama aku ingin tinggal disini, hingga akhu menemukan sebuah cinta yang tumbuh karena kenyamanan. Tak bertahan lama bunga cinta itu tumbuh perlahan hingga tak tertahan. Aku terlanjur ungkapkan itu dan dia sontak berubah dengan sendirinya. Awalnya aku sangat merasakan wujud perhatian sederhananya yang hadir dalam beberapa kesempatan aktivitasku. Entah aku salah menilai itu atau bahkan aku tak bisa membedakan cinta yang sebenarnya itu seperti apa, hingga aku harus merasakan kabut mendung dalam hatiku ini.

Kabut ini, apakah akan terus menciptakan kemendungan dan juga petir, bahkan hujan lebat dan banjir bandang. Aku pun perlahan ingin mencari arti semua ini. Aku ingin menjadikan ini sebuah pelajaran berharga dalam romantika kisah kasih ku. Aku tak menyalahkannya, karena dia tak memberikan alasan yang cukup untuk merubah sikapnya menjauh dan berubah sampai pada penghapusan rasa perhatiannya padaku. Yang ku jadikan sebgai awal alasan aku memilihnya. Namun aku akan terus berusaha untuk menunggu bahwa akan datang waktu yang tepat untukku kembali dengan cintaku yang utuh, hingga dia berani jujur untuk berkata iya atau tidak dengan tegas.

Tak seperti biasanya, jogja hari ini kembali basah dengan hujan yang tak hentinya dari tadi malam. Aku pun juga hampir seharian tak keluar kamar, aku beberapa kali ingin menulis sebuah surat untuk dia, sebagai rasa maaf untuk ketidaknyamannya atas rasa ini. Hampir sepuluh lembar surat aku buat, tapi setelah selesai kutulis langsung aku buang. Aku sendiri tak yakin bahwa aku salah dengan rasa ini. Tapi kenapa ia tak menyediakan jawaban itu untukku. Kenapa???

Sampai pada surat kesebelas hingga aku disadarkan oleh pesan orang tua saat berangkat merantau ditanah budaya ini untuk belajar. “nak jangan berhenti jika sudah niat untuk belajar, jangan pulang dan menyerah” aku kembali tak mampu membendung banjir bandang dari dua palang pintu air mataku. Saat itu juga aku berniat untuk melupakan cinta itu, rasa yang sempat membuat ku lupa dengan rasa cinta yag sebenarnya dari orang tuaku yang ikhlas, begitu memperhatikan masa depanku. 

Berbeda dengan cinta semu yang baru saja aku alami, dia bahkan tak punya nyali untuk mejawab itu, dia tak memperhatikan keseriusanku, bahkan dia tak mencoba menjawab agar kedepannya aku punya arah yang tepat entah menunggu ataupun melupakannya. Akhirnya kuputuskan untuk kembali memendam rasa yang pernah ada ini, bahkan aku akan berusaha melupakannya. Untuk sebuah ikatan yang akan datang dimasa depan. Ikatan yang terjadi pada saat yang tepat, dengan orang yang tepat untuk menjalin sebuah ikatan yang serius kulalui hingga akhir hayat dengan ditemani anak, dan cucu – cucuku.

Malang

12/10/2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun