Ada maqalah dalam bahasa Arab
“As siyasatu Thoriqotun, man lam taq-tho’hu fainnaha taqtho’uhu”
Politik itu perjalanan, barang siapa tidak memotong politik maka akan di terpotong oleh politik.
Politik itu licin ada barang yang terlihat bagus enak tapi awas di belakangnya ada pahit. maka jauhi dan tolak. Tapi ada barang pahit tapi lihatlah dibalik pahit terkandung apa yang menyehatkan menyegarkan badan. meluruskan arah yang benar. maka ambil dan perjuangkan. Politik itu memandang susuatu bukan hanya dari sisi lahiriah atau tampilan saja, tapi bagaimana peristiwa dibalik itu ???. Akibat dari sesuatu harus juga jeli untuk dipandang, Memang tidak di pungkiri, pertunjukan politik pentas Nasional melalui Partai Demokrat selama dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun ini menjadi sorotan, sesekali beralih pada Parpol lain. Tapi tidak lama kembali lagi ke Partai Demokrat lagi. Terlepas tiada manusia sempurna yang mana manusia sempurna cuma satu manusia sempurna yaitu Nabi Muhammad SAW sehingga apapun dari tindakan, diam, sabda atau perintahnya semuanya menjadi dasar aturan hidup bagi seluruh umat muslim se-dunia. Menilik perpolitikan Indonesia dari jelang reformasi tahun 1998-2000an tak ubahnya antar partai politik saling hujat, saling serang, saling salahkan menyalahkan. Jika ada yang disalahkan yang lain ikut ramai bersorak, bertepuk tangan, ramai-ramai menghakimi. Bagaimana Gus Dur tidak jelas bersalah atau tidak ? ramai-ramai digebuki.. Hendaknya politik itu menuju ridho Allah. memperjuangkan haq/yang benar dengan cara yang benar. Janganlah ber-politik dengan mengolok-olok menghujat menyalahkan orang yang belum jelas tolok ukur kebenarannya, jika berpolitik dengan menghujat orang itu bukan politik….. cuma namanya saja politik. Dan sungguh tidak berkarakter. Orang berpolitik itu adalah orang yang sangat pandai menyelamatkan diri sendiri kemudian menyelamatkan yang lain. Jika dilihat dari nilai-nilai luhur Al Qur’an menyatakan dan memerintahkan :
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia Perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” ( QS At-Tahrim : 6)
Warna Perpoltikan di Indonesia tanpa di sadari atau yang melihat pura-pura tidak tahu. Dalam beberapa waktu ini di pertontonkan warna politik yang lain dari yang lain oleh seorang Ketua Umum Parpol termuda. Menjauhi dari kata hujat menghujat, Saat awal menjadi Ketua Umum, kata-kata politiknya menyatakan :
“Pada semua kader simpatisan partainya di harapkan jangan menyerang menjelekkan pemimpin Kepala daerah di daerah masing-masing meski berbeda dari parpol lain.”
Bahkan saat seorang Ketua Umum termuda itu di himpit di dalam internal partainya dengan santun pula berikan pernyataan politiknya :
"Pertama, ketum tidak ingin ada statement menyerang dari para kader di semua tingkatan. Kedua keputusan Kongres yang menghasilkan Ketua Umum, program kerja dan AD/ART adalah keputusan tertinggi yang hanya bisa dibatalkan melalui kongres atau KLB. Ketiga ketum tetap menjalankan tugas-tugas seperti biasa dalam menjalankan amanat Kongres".
Ketika himpitan semakin meruncing yang mana di haruskan untuk undur diri dari Ketua Umum dengan dalih dan bukti hukum yang terlihat di paksakan. dijadikan tersangka oleh KPK. Menyatakan pembelaan dengan menyatakan:
“Saya meyakini bahwa kebenaran dan keadilan pangkatnya lebih tinggi dari fitnah dan rekayasa. Kebenaran dan keadilan akan muncul mengalahkan fitnah dan rekayasa, sekuat apapun dibangun, sehebat apapun itu dibangun, serapi apapun itu dijalankan. Itu keyakinan saya. Saudara-saudara sekalian, saya ingin sampaikan, sejak awal saya meyakini bahwa saya tidak akan punya status hukum di KPK. Mengapa? Karena saya yakin KPK bekerja independen, mandiri, dan profesional. Karena saya yakin KPK tidak bisa ditekan oleh opini dan hal-hal lain di luar opini, termasuk tekanan dari kekuatan-kekuatan sebesar apapun itu”
Anehnya.... Dari pernyataan pengunduran diri Ketua Umum Parpol termuda ini ditutup penyataan yang sebenarnya jauh dari arti balas dendam atau balik menyerang. sekedar beritakan apa yang jadi kebenaran, apa adanya disampaikan. Entah apa yang terjadi mungkin oleh para jurnalis dipelintir dengan tujuan di adu domba sekalian, di tabrakkan sekalian. Akan makna “halaman pertama”. Akan berbeda jika di telusuri dan melihatnya secara utuh dan mendalam… jika kutipan pidatonya sebagai berikut :
“Tetapi yang paling penting saya garis bawahi, bahwa tidak ada kemarahan dan kebencian. Kemarahan dan kebencian itu jauh dari rumus politik yang saya anut. Dan mudah-mudahan juga dianut siapapun kader-kader Partai Demokrat. Di atas segalanya, saya ingin menyatakan barangkali ada yang berpikir bahwa ini adalah akhir dari segalanya. Barangkali ada yang meramalkan dan menyimpulkan ini adalah akhir dari segalanya. Hari ini, saya nyatakan ini baru permulaan. Hari ini saya nyatakan ini baru sebuah awal langkah-langkah besar. Hari ini saya nyatakan ini baru halaman pertama. Masih banyak halaman-halaman berikutnya yang akan kita buka dan baca bersama. Tentu untuk kebaikan kita bersama. Saya sekali lagi dalam kondisi apapun akan tetap berkomitmen berikhtiar memberikan sesuatu yang berharga bagi masa depan politik kita, demokrasi kita. Jadi, ini bukan tutup buku. Ini pembukaan buku halaman pertama. Saya yakin halaman-halaman berikutnya akan makin bermakna bagi kepentingan kita bersama.”
Jika di telaah dengan jernih. Maksud yang sejati dari pidato di atas adalah bagaimana budaya santun dan beretika sehingga terwujud karakter. Yang di kedepankan “Khasibu anfusakum Qobla an tukhasabu” bagaimana mengoreksi diri sendiri sebelum di koreksi orang. Bagaimana benahi partai sendiri bukan sibuk menghujat partai lain. Atau sibuk balas dendam membalas para penyerangnya. Yang dapat di artikan halaman pertama dalam benahi watak dan karakter politik bangsa ini. Sehingga meninggalkan budaya hujat menghujat yang akan tiada selesai mencari-cari kesalahan orang untuk dijual menjadi berita. Perilaku yang salah (bukan selayaknya) dan kaprah (dibenarkan dilakukan orang) dalam arena politik yang telah terjadi kurun waktu selama ini. Belum pernah terucap dari mantan Ketum termuda itu menjelekkan menghujat lawannya. Inilah fenomena unik. Jika kita bijak menyikapi dari apa yang telah terjadi. Semoga menjadi perubahan Uswah hasanah = contoh yang baik pada bangsa ini. Budaya Politik Santun, Beretika dan Berkarakter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H