Baru baru ini pemilihan presiden dan wakil presiden Republik indonesia, ada banyak strategi yang dilakukan oleh masing-masing para calon presiden untuk menarik simpati para pemilih khusus nya Gen Z.Â
Menarik nya pada kampanye kemarin masing-masing calon menggunakan artis Indonesia masuk dalam tim kampanye, dengan maksud agar bisa menarik perhatian masyarakat.Â
Salah satu calon presiden sebut saja Prabowo Subianto, menggandeng para influencer seperti Raffi Ahmad, Rachel Vennya, Ria Ricis, Nagita Slavina, Deddy Corbuzier, dan Atta Halilintar saat peresmian Grha Utama akademi militer (Akmil) di Magelang, Jawa Tengah.
Kita tahu bahwa kekuatan pemasaran influencer hari ini sangat besar, terlebih dengan maraknya media sosial dan iklan di mana-mana. Kesuksesan para influencer politik diukur dari bagaimana algoritma mendukung atau menekan kontennya.
Platform adalah infrastruktur yang digunakan oleh para influencer untuk terlibat dengan audiens mereka, mulai dari Facebook, Instagram, Telegram,Twitch, TikTok, Twitter, Weibo, YouTube, Google Docs, hingga siniar. Bahkan, dating apps juga bisa digunakan untuk menyebarluaskan pesan.
Ada dua flatform media sangat berpengaruh dalam konteks ini yaitu tiktok dan instagram, kedua platform ini memang dibuat untuk mendukung keseharian influencer. Influencer dapat "menjual" pesan politiknya dengan menggunakan tagar khusus. Tentu saja, efeknya juga berisiko: politik dapat dipahami sebagai sesuatu yang sederhana dan mudah, yang menggiring orang-orang pada sinisme politik berlebihan ataupun menambah ketertarikan para milenial terhadap politik.Â
Seperti yang terjadi di India, influencer menjadi alat partai untuk membuat narasi, seperti pembuat opini, memperuncing debat kebijakan dan isu, serta menawarkan arahan ke masyarakat. Dalam kongres Bharatiya Janata Party (BJP), berbagai partai menggunakan figur-figur terkenal dan berpengaruh, merentang dari selebritas, atlet, dan pebisnis sukses untuk meningkatkan suara di pemilihan umum. Bintang yang dipamerkan waktu itu seperti Amitabh Bachchan, Salman Khan, dan Akskhay Kumar. Mereka dilibatkan untuk menciptakan kesadaran terkait agenda partai hingga kebijakan.
Berbeda dengan Jerman, fenomena ini disebut sebagai "Efek Rezo (Rezo Effect)", merujuk ke bagaimana influencer di Jerman yang bernama Rezo menyerang partai konservatif Jerman Christian Democratic Union (CDU) dalam sebuah video. Aktivitas Rezo lantas diikuti oleh para influencer lain, yang mampu memberikan peran literasi dan pendidikan politik yang penting bagi publik.
Untuk mendapatkan audiens yang spesifik, para pendukung calon pejabat politik juga menggunakan influencer yang spesifik, yang non-mainstream atau tidak dikenal dalam dunia infotainment. Berkaca dari kasus di India, ada beberapa praktek yang lazim digunakan oleh politisi. Meskipun demikian, sangat terbuka kemungkinan praktek ini juga dilakukan di negara selain India.
Akhirnya apa yang terjadi, peran di dalam media sosial yng dilakukan oleh para influencer untuk menaikkan elektabilitas para kandidat mereka masing-masing, strategi ini sangat perlu di pertimbangkan karena efeknya yang sangat luar biasa.Â