Tuding menuding dan saling memojokkan semakin seru. Media massa pun mendapat porsi berita yang aktual, hangat dan terpercaya, begitu istilahnya. Di Metro TV Pak Arsyad Sanusi mantan hakim MK membantah dengan keras pernyataan ketua MK Pak Mahfud MD. Dua petinggi hukum yang pernah akur dan bekerja sama itu, kini keakrabannya telah pecah karena kasus pemalsuan surat MK sudah menyentuh ranah pribadi masing-masing, tidak lagi fokus pada substansi kasus. Seolah lupa, lebih baik bekerja sama mengungkap oknum pemalsu sebenarnya daripada harus berkelahi satu sama lain. Keduanya sama-sama merasa tidak berbuat salah.Berarti ada orang lain yang bermain. Mereka yang bertengkar. saling serang, padahal usia sudah tidak muda lagi, sama-sama keras dan merasa memiliki arguentasi penting.
Asyik juga kita ramai-ramai jadi penonton dagelan ini.
Kasus pemalsuan surat yang awalnya ditujukan kepada ibu Andi Nurpati, menjadi melebar kemana-mana. Tak urung banyak petinggi jadi cemas karena ikut disebut-sebut. Sementara orang yang dianggap biang perkara masih enak-enak menerima gaji besar sebagai anggota DPR.
Mengapa bukan langsung saja orangnya yang ramai-ramai diributkan, supaya ngaku bagaimana sebenarnya. Mengapa justru petinggi hukum yang saling cakar-cakaran?
Apakah benar ada orang lain yang sebenarnya, yang memainkan peran penting merubah hasil keputusan? Jangan sampai kedua tokoh ini sedang di adu habis-habisan supaya keduanya lenyap dari panggung politik Negara.
Hilanglah sudah kesan persaudaraan, yang tua menghujat yang muda sedang yang muda menuduh yang tua. Sebagai hakim harusnya sadar, mesti kembali ke khittah sebagai hakim.
“dalam memutus perkara,hakim harus selalu mendahulukan musyawarah”
Kepastian hukum, sekali lagi cedera.
Pernyataan demi pernyataan dari mereka semakin menampakkan bahwa keputusan hukum dari hakim memang tidak lepas dari pengaruh “sarapan pagi” seorang hakim. Istilah sarapan pagi disini bukanlah breakfast sebagaimana yang kita lakukan setiap pagi. Istilah ini berarti bahwa keputusan seorang hakim banyak dipengaruhi oleh apa yang dialaminya, difikirkannya, dijalaninya selama belum melakukan vonis.
Dunia hukum Indonesia lagi-lagi cacat.
MK yang diharapkan menjadi penentu keadilah di bidang sengketa Pemilu malah ditengarai jadi tempat transaksi bagi-bagi kursi bagi caleg serakah dan hakim tidak sadar akan tanggung jawab. Ironi jika benar terjadi.
Menurut Prof.Dr.Ahmad Ali,SH MH mestinya orang yang menjadi hakim itu harus berbekal prinsip :
“ seorang hakim, sedapat mungkin tidak berhubungan dalam kondisi apapun dengan orang-orang yang berperkara, seorang hakim adalah seorang manusia yang mengabdikan diri untuk tidak memihak kepada siapa pun kecuali kepada Tuhan dan hukum yang dijalankannya, bahkan kalau perlu dia harus siap untuk hidup kesepian dalam keramaian demi untuk menjaga integritas dan idealismenya”.
Tapi apakah ajaran mulia itu masih di ingat oleh lulusan fakultas hukum? Entahlah. Yang banyak terdengar justru cerita jual beli dan atur-atur perkara. Hidup sebagai orang pemerintahan zaman sekarang selalu dianggap sebagai lahan basah, apa pun akan jadi sarana pemasukan duit. Walau dengan posisi apapun. Apalagi sebagai hakim, banyak orang yang berkepentingan untuk datang ke rumah, segala macam cara dipakai untuk merayu, tak mempan dengan orangnya ya melalui keluarganya.
Tak ada lagi sosok seperti alm.Baharuddin Lopa, seorang jaksa yang tak mempan dirayu, berani dan teguh serta tidak mendewakan harta, bahkan nota sakti seorang ibu Negara pun tak mempan dihadapannya. Para hakim sekarang terkadang lupa bahwa mereka membuat keputusan atas nama Tuhan, sebuah keputusan yang mempunyai dampak yang maha berat kelak dihadapan Qadhi Rabbun Jalil, Sang Maha Pemutus yang akan menuntut hak-Nya setelah namanya dipakai menganiaya orang lain. Meyakinkan orang dengan merk ketuhanan yang seolah-olah benar, padahal berbohongdan manipulatif.
Tidakkah orang yang memanipulasi surat-surat ini sadar, bahwa apa yang dilakukannya itu adalah kesalahan besar. Negeri ini benar-benar telah bobrok, rapuh mulai dari atas sampai kebawah, sisa menunggu runtuhnya saja.
Bukankah sebagai orang Makassar telah diperingatkan oleh Karaeng Pattingngalloang, Mangkubumi kerajaan Gowa, sejak satu abad yang silam bahwa Negara akan hancur jika :
-Punna tenamo naero nipakainga karaeng maggauka (apabila raja sudah tidak mau dinasehati);
-Angnganre ngasemmi soso’ pabicaraya (apabila hakim sudah memakan uang sogok);
-Punna jai gau’ malompo ri lalang pa’rasanganga (apabila terlalu banyak kejadian besar dalam Negara);
-Punna tenamo tumangngasseng ri lalang pa’rasanganga (jika sudah tidak ada lagi orang cerdik pandai dalam negeri);
-Punna tenamo nakamaseangi atanna karaeng maggauka (jika raja yang berkuasa sudah tida lagi menyayangi rakyatnya).
Sayang sekali kearifan lokal ini hanya tersisa menjadi nyanyian dan paruntu’ kana belaka, sebab orang yang seharusnya melestarikannya justru meninggalkannya, baginya yang terpentingadalah berkuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H